Membuang Stigma Pengangguran

Beberapa waktu lalu kita terima berita Sritex tutup dengan PHK 10.000 pegawai. Belakangan ini beredar video medsos yang memberitakan Gudang Garam PHK ribuan karyawan (belum terkonfirmasi). Kalau dari laporan keuangan memang ada penurunan pendapatan Gudang Garam tetapi belum tentu langsung berimbas pada pengurangan tenaga kerja. Apa pun yang terjadi, secara global para pegawai di lingkungan padat karya baik di lapangan pertanian dan berbagai perindustrian terlindas kemajuan teknologi. Trend ini terus merambah lingkungan kerja kantoran juga dan sepertinya kelanjutannya tidak baik-baik saja. Belakangan muncul berita tentang PHK yang membuahkan depresi yang mengarah ke perilaku bunuh diri.

Dengan tulisan ini saya akan mencoba membangun pemikiran bahwa aktivitas manusia tidak harus dalam konteks bekerja mencari nafkah karena banyak aktivitas yang mereka kerjakan saat bekerja tidak lagi diperlukan setelah teknologi terkait sudah siap untuk menggantikan mereka. Manusia yang dalam kehidupannya tidak dalam posisi mendapat tugas untuk bekerja seharusnya juga bisa mendapatkan harga diri sebagai manusia dengan berkarya di luar konteks bekerja dalam pengertian mengharap imbalan dari majikan.

Selama berabad-abad manusia mengenal kerja sebagai bagian yang tak terpisahkan dari hidup. Harari mengungkapnya dalam buku Sapiens dan Homo Deus. Ini buku-buku bagus, saya baca saat mengisi kegiatan saat pandemi Covid-19. Pada masa pra-industri, kerja berarti menanam, merawat ternak, menenun, atau membuat perkakas. Sebelum itu mungkin berburu, mengumpulkan dedaunan, buah-buahan, biji-bijian atau umbi-umbian dari hutan. Semua dilakukan agar bisa makan, bertahan hidup, dan tetap menjadi bagian dari komunitas. Kerja mengikuti ritme alam, musim tanam, siang dan malam, serta siklus tubuh. Identitas orang melekat pada apa yang dikerjakannya, belum ada institusi atau perusahaan tempat ia terikat. Filosofinya barangkali kerja untuk makan (atau makan untuk kerja?). Hidup berputar dalam lingkaran keterhubungan antara aktivitas manusia dengan kebutuhan dasar dalam komunitas sosial.

Perubahan besar datang dengan industrialisasi. Kerja tidak lagi terutama untuk makan, melainkan untuk uang. Komunitas kecil berubah menjadi pasar, ritme alam digantikan oleh jam mesin, dan makna sosial kerja beralih menjadi produktivitas. Dari masa ini kerja manusia semakin jauh dari esensi kerja sebagai bagian dari bertahan hidup secara langsung. Pekerja kantoran bisa bertahun-tahun beraktivitas tanpa pernah tahu atau peduli apakah hasilnya benar-benar berguna bagi orang lain. Ini berbeda dengan petani tradisional yang tahu bahwa kerja hari ini akan menghasilkan makanan untuk besok kapan-kapan. Dan dalam banyak situasi, manusia tidak bisa bersyukur sebagaimana yang tertulis di Quran Surat Al-Qashash ayat 73: Berkat rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang agar kamu beristirahat pada malam hari, agar kamu mencari sebagian karunia-Nya (pada siang hari), dan agar kamu bersyukur kepada-Nya.

Di bukunya Humans Need not Apply, Jerry Kaplan mengungkap banyak pekerjaan lama dan baru yang bakal menghilang begitu saja tergerus teknologi. Di buku Informatika Sosial, saya contohkan teknologi komunikasi yang awalnya membuka lapangan kerja baru. Dalam kenyataannya, pekerjaan baru ini hilang dalam satu putaran inovasi. Pada masa telegraf dan telepon manual, jutaan orang bekerja sebagai operator untuk menyambungkan komunikasi. Ledakan tenaga kerja terjadi karena teknologi itu pada dasarnya padat karya. Tetapi begitu ada switchboard otomatis, operator manusia hilang dalam waktu relatif singkat. Pola yang sama kini berulang dengan internet.

Ada masanya saya dapat “order” membuat website institusi. Setelah muncul Content Management System (CMS), mereka yang sudah terbiasa menggunakan komputer bisa membuat website baru dalam hitungan hari. Seingat saya CMS populer pertama adalah PHP-Nuke, saya ikut-ikutan membuat dengan nama Waton-CMS. Meskipun waton (dalam bahasa Jawa berarti asal-asalan), Waton-CMS sempat berkembang menjadi sistem paperless office (PLO). Saya sempat juga mendapat beberapa order membuat sistem paperless office untuk beberapa institusi. Kemudian saya balik saja sebagai dosen jelata setelah muncul berbagai framework membuat sistem informasi (SI) seperti Codeigniter (CI) yang memudahkan pegawai institusi membuat sendiri sistem informasinya. CMS menghapus sebagaian besar pekerja website. Framework sistem informasi menghapus sebagian besar programmer SI.

Teknologi Internet menjanjian banyak sekali pekerjaan baru. Pertama tadi, sebagai tenaga teknis website maupun dan sistem informasi. Belakangan ini pekerjaan content creator, penulis artikel web (web log, blog), atau pemasar digital sempat menjadi primadona, namun ternyata cepat digusur oleh banjir produksi otomatis berbasis kecerdasan buatan. Yang perlu diwaspadai, jika operator telepon butuh 50–70 tahun untuk tergusur, pekerjaan digital sekarang mungkin akan menghilang lima sampai sepuluh tahun. Pembatik tradisionil sepertinya sudah benar-benar tergilas batik printing. Mungkin pembuat musik juga akan terlindas aplikasi seperti Suno.com atau yang lainnya.

Apakah ada pekerjaan yang bisa bertahan terhadap kehadiran teknologi otomatisasi baru? Mungkin ada, tapi jumlahnya terbatas. Psikolog, guru, seniman, perawat lansia, atau pemimpin komunitas barangkali tetap relevan dalam 10-20 tahun ke depan, tetapi tidak akan menyerap jutaan tenaga kerja yang kehilangan tempat. Melatih ulang pekerja kantoran menjadi diplomat, psikolog, atau teknisi lapangan bukan perkara mudah. Bahkan secara sosial, banyak yang tidak bisa atau tidak mau bergeser ke ranah fisik. Hasilnya, surplus tenaga kerja menjadi masalah struktural. Solusi apa? Melatih ulang mungkin akan berhasil untuk beberapa orang tapi sepertinya tidak akan berhasil secara massal. Kita perlu bersiap untuk melakukan perubahan model ekonomi-politik secara mendasar.

Saya mendapati ada mindset siklus kehidupan manusia adalah lahir, belajar berkomunikasi, masuk sekolah untuk dapat ijazah, melamar pekerjaan dan akhirnya jadi pekerja agar dapat penghasilan untuk makan dan ya mungkin melakukan beberapa hal yang bisa disebut sebagai menikmati hidup. Manusia menjadi manusia dalam 4 kelompok status: anak-anak kecil, anak-anak sekolah, pekerja, dan terakhir pensiunan. Di luar itu ada satu lagi kelompok yang kurang terhormat sebagai manusia yakni kelompok pengangguran. Mindset ini harus diubah kalau kita ingin memenangkan status manusia melawan perkembangan teknologi.

Saya usul untuk mengubah misi belajar tidak sebagai bekal bekerja (dalam arti labour) tapi bekal berkarya. Kalau bekerja itu targetnya menghasilkan uang, dan uang itu datangan dari pihak lain (orang lain atau institusi tempat dia bekerja). Tanpa mitra kerja, kita tidak akan dapat uang. Dengan berkarya, kita mendapatkan karya. Karya itu bisa memberi kepuasan diri dengan atau tanpa apresiasi orang lain. Ya semacam mbah Sadiman yang menanam belasan ribu pohon di lereng gunung Lawu. Dia tidak bekerja, tapi berkarya.

Ketika kebutuhan dasar bisa dipenuhi melalui otomatisasi, manusia bisa kembali pada aktivitas yang sebenarnya menandai eksistensinya: belajar, mencipta, bersosialisasi, mengekspresikan diri, dan membangun makna. Jika negara atau komunitas menjamin kebutuhan pokok, manusia bebas berkarya seni, berpartisipasi dalam penelitian, menjelajahi alam dan sejarah, atau sekadar belajar sepanjang hayat. Utopia kehidupan tidak lagi dibayangkan sebagai masyarakat pekerja, melainkan masyarakat pembelajar dan pencipta.

Tantangan terbesar tentu transisi. Selama lebih dari dua abad industrialisasi, kerja dipersepsikan sebagai ukuran nilai dan martabat. Gaji menjadi identitas, jabatan menjadi status. Mind send ini menurutku termasuk biang pendorong perilaku korupsi. Bahkan sampai ada yang bilang korupsi itu olinya pembangunan. Melompat ke paradigma baru karya sebagai identitas martabat manusia, bukan kerja dan kekayaan yang dikejar dengan bekerja, tidak mudah karena memerlukan kampanye pendidikan yang masif. Tapi jika ada keberanian untuk membangun infrastruktur politik, ekonomi, dan budaya yang mengakui karya sebagai basis martabat manusia, maka manusia tidak lagi perlu bekerja untuk menjadi manusia. Identitasnya kembali pada hakikat: makhluk yang belajar, bermain, mencipta, dan membangun makna bersama. PHK tidak lagi terlihat buruk.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *