Pergeseran Selera Seni Masyarakat

Beberapa waktu lalu saya mencoba membuat musik lagu menggunakan deepseek untuk bikin lirik. Hasilnya saya icopy-pastekan ke Suno Music. Ternyata hasilnya gak jelek-jelek amat lah ditelingaku. Kalau cafe-cafe dan restoran-restoran benar-benar ditambah pajaknya untuk royalty, mereka pasti akan beralih memutar lagu-lagu AI.

Yang akan merepotkan nanti, internet akan dibanjiri produk suno musik dan semacamnya seperti kita pernah kebanjiran gambar-gambar AI sebelumnya, termasuk studio gibli dulu itu. Penerimaan masyarakat pada produk AI tidak sekedar adanya penurunan tingkat selera masyarakat, tapi juga karena ada peningkatan kualitas produk AI itu sendiri.

genbatik.ub.ac.id

Dulu saya pernah menulis tentang fenomena batik. Sampai sekarang, batik tulis halus masih diproduksi, dan mestinya masih ada pasar kolektornya. Terakhir saya ke Mirota Batik masik lihat ada koleksi kain-kain batik berharga jutaan rupiah, tapi sepertinya target pembelinya relatif terbatas. Yang dipakai sehari-hari, di sekolah, atau kantor, ya batik printing. Praktis, murah, dan menurutku sudah cukup baik dan malah kelihatan lebih rapi dibanding batik tulis.

Sepertinya karya musik mengikuti pola yang mirip. Ada masa ketika karya itu menjadi bagian yang melekat di media fisiknya: cassette tape, LP (sekarang lebih populer dengan istilah vinyl), CD. Orang rela membayar untuk memiliki album. Sekarang, musik terlepas dari benda. Dari file mp3 yang bisa dicopy gratisan sana sini, sampai streaming online yang kita bayar per bulan untuk akses tanpa batas. Nilainya bukan lagi pada “kepemilikan” karya, tapi pada fungsi: bisa didengar kapan saja, tanpa ribet.

Batik tulis dan konser musik live punya posisi serupa: langka, mahal, disimpan untuk kalangan tertentu. Batik printing dan musik streaming adalah realitas sehari-hari, karena masyarakat sudah memutuskan bahwa kegunaan praktis lebih penting daripada aura keaslian.

Pencipta batik dapat uang masih dari jual putus karya fisik kain batik. Posisi pemusik masih lebih baik karena bisa jual karyanya berkali-kali dalam bentuk perhelatan konser.

Pertanyaannya: apakah pergeseran ini berarti kita sudah cukup puas dengan bentuk-bentuk musik yang ada, atau nanti akan muncul kerinduan pada pengalaman musik yang benar-benar berbeda seperti orang mencari lukisan batik tulis bukan untuk dipakai, melainkan untuk “dipajang”? Masyarakat sendiri apah memang terhibur dengan kehadir live music di cafe/resto atau justru menjadi merasa terganggu?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *