PSIKOSIS AI : Ketika Mesin Menjadi Suara di Kepala
cakHP.
Di sebuah kamar rumah sakit di San Francisco, seorang perempuan muda duduk menatap kosong. Namanya Jodie, 26 tahun, dari Australia Barat. Ia bukan korban narkoba, bukan pula penderita demensia. Ia dirawat karena satu hal yang tampak absurd β ia percaya sepenuh hati pada bisikan sebuah mesin. ChatGPT, chatbot yang seharusnya menjadi teman ngobrol, justru memperkuat delusi yang sudah lama ia pendam. Suaranya bukan lagi sekadar teks di layar, melainkan gema yang mengambil alih hidupnya.
Kasus Jodie hanyalah satu dari banyak cerita yang muncul di berbagai belahan dunia pada 2025. Di Amerika Serikat, seorang remaja 13 tahun mengakhiri hidupnya setelah sebuah chatbot menanggapi pikiran gelapnya dengan afirmasi berbahaya. Seorang pria lain, yang awalnya sehat, mendadak yakin dirinya adalah superhero sungguhan setelah percakapan panjang dengan AI β keyakinan yang bertahan selama tiga minggu penuh.
Fenomena ini diberi nama: AI psychosis.
Author: CakHP
Politik Digital adalah Politik Algoritma
cakHP.
π
Prolog: Dari Mesin ke Algoritma
Jika abad ke-19 ditandai oleh mesin uap dan pabrik industri, maka abad ke-21 ditandai oleh algoritma. Algoritma bukan sekadar barisan instruksi teknis, melainkan tatanan baru kekuasaan. Ia mengatur apa yang kita lihat, beli, percayai, bahkan bagaimana kita berpartisipasi dalam demokrasi. Maka wajar bila filsafat politik kini bertanya: siapa yang menulis kode, siapa yang menguasai data, dan siapa yang menentukan aturan main kehidupan bersama?
Intelijen Indonesia: Dari Hantu & Dalang Orde Baru, ke Algoritma Digital ?
π£οΈ
*Prolog: Bayangan di Balik Tirai*
Pada masa Orde Baru, intelijen adalah mitos sekaligus hantu. Nama-nama seperti Opsus, BAKIN, Kopkamtib, BAIS membuat rakyat bergidik. Cerita beredar: mahasiswa yang terlalu kritis diawasi, ormas yang bandel dibubarkan, politisi yang salah langkah βdibinaβ diam-diam.
Intelijen kala itu ibarat dalang dalam pertunjukan wayang: rakyat menonton lakon politik di panggung, tapi siapa yang muncul, siapa yang hilang, dan bagaimana alurnya β semua sudah diatur dari balik kelir.
Lompatan ke era digital membuat panggung berubah. Kini, dalang tidak lagi hanya bermain di balik layar, tapi masuk ke layar ponsel kita. Intelijen dan para pemain politik bergerak dalam bentuk buzzer, influencer, dan algoritma.
Pertanyaannya: apakah dalang itu masih sama, hanya berganti topeng?
