Intelijen Indonesia: Dari Hantu & Dalang Orde Baru, ke Algoritma Digital ?

🗣️
*Prolog: Bayangan di Balik Tirai*

Pada masa Orde Baru, intelijen adalah mitos sekaligus hantu. Nama-nama seperti Opsus, BAKIN, Kopkamtib, BAIS membuat rakyat bergidik. Cerita beredar: mahasiswa yang terlalu kritis diawasi, ormas yang bandel dibubarkan, politisi yang salah langkah “dibina” diam-diam.

Intelijen kala itu ibarat dalang dalam pertunjukan wayang: rakyat menonton lakon politik di panggung, tapi siapa yang muncul, siapa yang hilang, dan bagaimana alurnya — semua sudah diatur dari balik kelir.

Lompatan ke era digital membuat panggung berubah. Kini, dalang tidak lagi hanya bermain di balik layar, tapi masuk ke layar ponsel kita. Intelijen dan para pemain politik bergerak dalam bentuk buzzer, influencer, dan algoritma.
Pertanyaannya: apakah dalang itu masih sama, hanya berganti topeng?

🪖
*I. Penjaga Ideologi: Dari Asas Tunggal ke Trending Tunggal*

_*Orde Baru: Asas Tunggal Pancasila*_

Tahun 1980-an, semua organisasi massa diwajibkan tunduk pada asas tunggal Pancasila. Intelijen bertugas memastikan tidak ada “ekstrem kiri” (komunisme) atau “ekstrem kanan” (Islam radikal).

▪️Mahasiswa yang terlalu kritis diberi “pembinaan”.

▪️Partai politik dijinakkan lewat fusi, hingga tersisa Golkar, PPP, PDI.

▪️Siapa yang melawan? Hilang dari panggung.

Intelijen adalah filter ideologi negara. Politik yang boleh tumbuh hanyalah yang sesuai dengan kehendak rezim.

_*Era Digital: Trending Tunggal*_

Hari ini, kontrol ideologi tidak lagi lewat penataran P4, melainkan lewat trending topic.

🔹Ketika muncul isu politik sensitif, mendadak ribuan akun anonim menggaungkan satu narasi.

🔹Konten radikal, hoaks, atau sekadar kritik keras bisa dilabeli “berbahaya” dan ditenggelamkan.

🔹Seperti dulu, rakyat tetap dipaksa melihat satu arah, hanya saja kini bukan melalui indoktrinasi negara, melainkan melalui indoktrinasi algoritma.

Analoginya jelas: jika Orde Baru menuntut keseragaman ideologi, era medsos menuntut keseragaman persepsi.

.
📱
*II. Pengarah Masa Depan: Dari Operasi Senyap ke Big Data*

_*Orde Baru: Operasi Senyap untuk Transisi*_

Di era Soeharto, transisi politik tidak dibiarkan alamiah. Intelijen memastikan siapa yang naik dan siapa yang turun.

▪️Kasus Malari 1974: demonstrasi mahasiswa dipersepsikan sebagai ancaman → intelijen masuk mengendalikan narasi → hasilnya: lawan politik dilemahkan, Soeharto semakin kuat.

▪️Pemilu Orde Baru: hasilnya selalu bisa ditebak — Golkar menang telak. Intelijen memastikan tak ada kejutan.

Masa depan politik dirancang bukan dengan data, melainkan dengan operasi senyap: pengendalian elite, kontrol ormas, rekayasa peristiwa.

_*Era Digital: Big Data & Prediksi Politik*_

Hari ini, masa depan tidak hanya dikendalikan oleh operasi senyap, melainkan juga oleh big data.

🔹Survei daring, sentiment analysis, hingga AI prediction dipakai untuk membaca arah pemilih.

🔹Pada Pilkada DKI 2017, percakapan tentang “politik identitas” dipantau harian. Narasi soal agama, kesetaraan, dan nasionalisme tidak sekadar mengalir alami, melainkan ditopang oleh mesin narasi.

🔹Di Pemilu 2019, polarisasi “cebong vs kampret” tidak sekadar spontan, melainkan dikelola oleh pasukan siber, baik resmi maupun liar.

Jika dulu intelijen menciptakan masa depan lewat rekayasa lapangan, kini masa depan dibentuk lewat rekayasa percakapan digital.

.
🧚
*III. Arsitek Kesadaran Kolektif: Dari Surat Kabar ke Meme*

_*Orde Baru: Kontrol Media Cetak & TV*_

Di masa pra-digital, kesadaran kolektif rakyat dibentuk lewat koran & TVRI.

▪️Surat kabar bisa dibredel jika dianggap melawan arus. Ingat kisah Tempo, Editor, DeTIK yang dibungkam?

▪️TVRI adalah corong resmi. Berita selalu dimulai dengan aktivitas Presiden.

▪️Narasi tunggal dijaga agar rakyat percaya bahwa Orde Baru adalah satu-satunya jalan menuju stabilitas.

_*Era Digital: Meme dan Trending Topic*_

Kini, narasi kolektif tidak lagi digenggam oleh segelintir koran atau TV. Ia lahir dari meme, thread, dan video pendek.

🔹Di demo Omnibus Law (2020), mahasiswa di jalan melawan pasukan siber di dunia maya. Meme “kerja keras demi rakyat” melawan meme “UU pro-oligarki”.

🔹Di Pemilu 2024, konten deepfake sempat beredar, menampilkan tokoh politik dengan pernyataan yang tak pernah mereka ucapkan. Meski cepat dibantah, jejaknya menempel di kesadaran publik.

🔹Buzzer adalah intelijen gaya baru: bukan membawa pistol, tapi membawa template meme dan flooding tweet.

Jika dulu rakyat dicekoki lewat siaran berita resmi, kini rakyat larut dalam banjir informasi — yang seringkali justru hasil operasi tersembunyi.

🎬
*IV. Dilema Etis: Pagar Demokrasi atau Dalang Demokrasi?*

Baik di Orde Baru maupun era digital, peran intelijen selalu mengandung dilema:

🔹Apakah mereka menjaga negara dari ancaman?

🔹Atau justru mengendalikan rakyat agar tunduk pada skenario elite?

Hari ini, dilema itu makin rumit. Jika dulu kita bisa menunjuk jari pada “rezim Soeharto”, kini narasi digital begitu cair: campuran antara aktor negara, politisi, konsultan asing, bahkan algoritma perusahaan global seperti Meta atau TikTok.

Intelijen berada di persimpangan: menjadi pagar demokrasi atau dalang demokrasi digital.

.
🌊
*V. Studi Kasus Intelijen & Media Digital Indonesia (2017–2025)*

5.1. _Pilkada DKI 2017: “Agama, Algoritma, dan Jalanan”_

Pilkada DKI 2017 menjadi salah satu titik balik besar dalam politik digital Indonesia.

Narasi Ideologis: Isu penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) meledak, bukan hanya di jalanan (Aksi 212), tetapi juga di media sosial.

Operasi Digital: WhatsApp group penuh dengan pesan berantai, potongan video, dan meme yang memperkuat framing. Facebook dan Twitter banjir dengan akun yang “meramaikan” isu identitas.

Kesadaran Kolektif: Di ruang digital, narasi agama bukan lagi sekadar keyakinan, melainkan alat mobilisasi politik masif.

📌 Analoginya di Orde Baru: Jika pada 1980-an intelijen sibuk menekan gerakan Islam politik lewat asas tunggal Pancasila, kini negara menghadapi ironi: narasi agama justru jadi kekuatan paling menentukan di dunia digital.

➡️
5.2. _Pemilu 2019: “Cebong vs Kampret” sebagai Rekayasa Kesadaran_

Polarisasi politik 2019 adalah contoh klasik bagaimana identitas digital bisa dikonstruksi menjadi identitas politik.

Narasi: dua kubu dibelah dengan istilah satir: cebong (pro-Jokowi) vs kampret (pro-Prabowo).

Buzzer & Bot: ribuan akun bekerja mengulang narasi, menyebar meme, bahkan memancing pertengkaran.

Echo Chamber: rakyat hidup dalam gelembung informasi, sulit melihat realitas di luar narasi kelompoknya.

📌 Analoginya di Orde Baru: Polarisasi politik ditekan habis, partai dipaksa tunduk. Tidak ada “cebong vs kampret”—semua orang harus jadi “kuning Golkar”. Bedanya, di era digital, polarisasi justru diciptakan dan dipelihara karena menguntungkan pihak tertentu.

➡️
5.3. _Omnibus Law 2020: “Demo di Jalan vs Narasi di Timeline”_

Ketika mahasiswa turun ke jalan menolak UU Cipta Kerja, perang lain terjadi di media sosial.

Aksi Lapangan: Ribuan mahasiswa berdemonstrasi di Jakarta, Bandung, Yogyakarta.

Aksi Digital: Di Twitter, muncul banjir tagar tandingan, narasi kontra-demonstrasi, bahkan framing bahwa demo “ditunggangi kelompok tertentu”.

Arsitek Kesadaran: Hasilnya, sebagian publik percaya mahasiswa memperjuangkan rakyat, sebagian lain yakin mereka “alat kepentingan asing”.

📌 Analoginya di Orde Baru: Demonstrasi mahasiswa 1974 (Malari) digambarkan oleh rezim sebagai ulah subversif. Bedanya, Orde Baru mengontrol lewat koran & TVRI, sementara era digital memakai buzzer & trending topic.

➡️
5.4. _Pandemi Covid-19 (2020–2021): “Hoaks Sebagai Virus Kedua”_

Selain virus biologis, Indonesia dihantam virus informasi.

Hoaks: mulai dari klaim bahwa Covid hanya konspirasi, hingga ramuan herbal sebagai “obat mujarab”.

Operasi Informasi: akun medsos menyebar teori konspirasi, sementara pemerintah berusaha menenggelamkan dengan kampanye #LawanCovid19.

Kehidupan Nyata: sebagian rakyat percaya narasi resmi, sebagian menolak vaksin karena yakin hoaks.

📌 Analoginya di Orde Baru: Krisis kesehatan jarang jadi isu publik karena informasi dikontrol negara. Di era digital, kontrol runtuh—kebenaran dan kebohongan bersaing di ruang yang sama.

➡️
5.5 _Pemilu 2024: “AI, Deepfake, dan Perang Narasi Tingkat Lanjut”_

Pemilu 2024 adalah puncak evolusi politik digital di Indonesia.

AI & Deepfake: beredar video manipulatif tokoh politik dengan pernyataan yang tak pernah mereka ucapkan. Meski cepat dibantah, jejak digitalnya tetap memengaruhi opini.

Operasi Buzzer: narasi pro dan kontra calon presiden digerakkan oleh jaringan digital terkoordinasi.

Kekuatan Influencer: TikTok dan Instagram dipenuhi konten politik ringan, dari joget-joget hingga satire, yang ternyata efektif menjangkau Gen Z.

📌 Analoginya di Orde Baru: Pemilu hanyalah formalitas. Hasilnya sudah ditentukan, media menyanyikan lagu tunggal. Perbedaannya, di era digital, pemilu memang kompetitif, tapi kesadaran publik sudah diarahkan jauh sebelum hari pencoblosan.

➡️
5.6 _Tahun 2025: “Masa Kini Kita”_

Memasuki 2025, Indonesia menghadapi realitas:
🔹Media sosial bukan sekadar ruang percakapan, tapi ruang pertempuran intelijen.

Siapa yang menguasai algoritma, ia menguasai persepsi.

Intelijen (baik negara maupun non-negara) tidak hanya menjaga ideologi, tapi juga mendesain imajinasi kolektif bangsa.

Publik mungkin merasa bebas memilih, tapi kebebasan itu sering sudah dikawal oleh narasi, meme, dan trending topic yang diarahkan secara sistematis.

➡️
Epilog: Bayangan Lama di Era Baru

Dulu, rakyat takut pada “intel” yang katanya bisa ada di mana-mana, dari warung kopi hingga kampus. Kini, “intel” tak lagi berwujud lelaki berjas abu-abu di pojokan ruangan. Ia hadir dalam bentuk akun anonim, trending topic, atau bahkan video deepfake di layar ponsel.

Dulu, intelijen menjaga ideologi dengan memaksa keseragaman. Kini, mereka menjaga (atau justru mengacaukan) ideologi dengan mendesain keragaman buatan.

Bedanya hanya medium. Hakikatnya sama: intelijen tetap dalang, publik tetap wayang, dan sejarah tetap sebuah lakon yang dipertontonkan.

Pertanyaannya :
Apakah di era digital ini dalang bekerja untuk rakyat — atau rakyat hanya sekadar figuran dalam cerita besar yang sudah ditulis sebelumnya?

.
🗣️🗣️
VI. Epilog Filsafati: Dialog Dua Intelijen

Bayangkan dua roh intelijen bertemu:
▪️Intelijen Orde Baru (iOrba), berseragam hijau dengan map rahasia.
🔹Intelijen Digital (iDigi), berupa ribuan avatar anonim, meme, dan grafik data.

iOrba berkata:
> “Aku menaklukkan tubuh lewat rasa takut. Semua tunduk pada asas tunggal.”

iDigi menjawab:
> “Aku menaklukkan pikiran lewat rasa percaya. Orang tidak sadar sedang kuarahkan. Mereka bahkan membela narasi yang kubuat.”

iOrba menantang:
> “Jadi, kau yang lebih berkuasa?”

iDigi berbisik:
> “Bukan aku. Bukan kau. Tapi algoritma. Kini, kita semua hanyalah wayang. Dalang sejati ada di balik data.”

.
✍️
VII. Kesimpulan: Dalang Lama, Dalang Baru

Intelijen Indonesia telah bertransformasi dari hantu Orde Baru menjadi arsitek digital.

Dulu ia menjaga ideologi dengan indoktrinasi, kini dengan trending topic.

Dulu ia merancang masa depan lewat operasi senyap, kini lewat big data.

Dulu ia mengatur kesadaran kolektif dengan koran dan TVRI, kini dengan meme dan buzzer.

Tapi satu hal tak berubah: intelijen selalu menjadi dalang — entah sebagai penjaga demokrasi, entah sebagai manipulatornya.

Maka, pertanyaan filsafati pun menggantung :

> Apakah intelijen masih dalang sejarah bangsa ini,
ataukah
> kini mereka sendiri hanyalah wayang, yang dimainkan oleh dalang baru bernama algoritma global?

.
🚧
sby, 30.08.25 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *