cakHP.
📌
Prolog: Dari Mesin ke Algoritma
Jika abad ke-19 ditandai oleh mesin uap dan pabrik industri, maka abad ke-21 ditandai oleh algoritma. Algoritma bukan sekadar barisan instruksi teknis, melainkan tatanan baru kekuasaan. Ia mengatur apa yang kita lihat, beli, percayai, bahkan bagaimana kita berpartisipasi dalam demokrasi. Maka wajar bila filsafat politik kini bertanya: siapa yang menulis kode, siapa yang menguasai data, dan siapa yang menentukan aturan main kehidupan bersama?
📌
I. Cambridge Analytica: Demokrasi dalam Bayangan Data
Kasus berbicara: Data jutaan pengguna Facebook dipanen dan dipakai untuk mengarahkan preferensi politik dalam Pemilu AS 2016 dan Brexit. Demokrasi, yang seharusnya arena deliberasi publik, ternyata dapat “disetel” oleh iklan mikro yang tak kasat mata.
Teori menanggapi:
🔹Habermas menunduk, melihat mimpi ruang publik deliberatif hancur oleh logika iklan algoritmik.
🔹Foucault mengangguk: inilah governmentality baru, warga tak perlu dipaksa, cukup diarahkan secara halus.
🔹Zuboff memperingatkan: kapitalisme pengawasan menjadikan perilaku manusia bahan mentah yang bisa diprediksi dan dikomodifikasi.
Horizon ke depan: Demokrasi digital tanpa kedaulatan data hanya akan menjadi simulasi kebebasan, tempat suara rakyat dibentuk oleh kode yang ditulis di balik layar.
📌
II. Predictive Policing: Statistik yang Menghukum
Kasus berbicara: Polisi menggunakan algoritma untuk memprediksi area rawan kriminal. Hasilnya? Komunitas miskin dan minoritas terus-menerus menjadi target, karena data historis mencerminkan diskriminasi masa lalu.
Teori menanggapi:
🔹Rawls menolak: keadilan bukanlah menghukum orang atas probabilitas.
🔹Critical Race Theory menegaskan: algoritma bukan netral; ia mereproduksi rasisme sistemik.
🔹Agamben berbisik: inilah state of exception digital — keadaan darurat yang terus diperpanjang atas nama keamanan.
Horizon ke depan: Tanpa kritik, algoritma hukum dapat menciptakan masyarakat di mana masa depan seseorang sudah ditentukan oleh pola data, bukan oleh tindakannya.
📌
III. TikTok: Viralitas dan Sensor Halus
Kasus berbicara: TikTok memutuskan konten mana yang viral. Politik yang terlalu sensitif sering tenggelam; hiburan lebih dipromosikan. Algoritma menentukan selera kolektif.
Teori menanggapi:
🔹Byung-Chul Han tersenyum pahit: inilah psikopolitik, di mana kita sendiri yang rela dieksploitasi demi likes.
🔹Mouffe menilai: konflik politik diubah menjadi tontonan ringan, kehilangan daya agonistiknya.
🔹Hardt & Negri menambahkan: padahal digital commons bisa jadi arena produksi bersama, tetapi kini terkooptasi kapitalisme platform.
Horizon ke depan: Politik di ruang digital terancam tereduksi menjadi tren singkat, viral sehari lalu hilang, tanpa akar deliberasi yang mendalam.
📌
IV. AI Generatif: Siapa yang Menulis Dunia?
Kasus berbicara: ChatGPT, MidJourney, dan AI generatif mengolah miliaran data untuk mencipta teks dan gambar. Pertanyaan muncul: data siapa yang dipakai, perspektif siapa yang mendominasi, dan bias apa yang disebarkan?
Teori menanggapi:
🔹Lyotard melihat “pengetahuan” kini direduksi jadi informasi yang bisa diproses mesin.
🔹Nancy Fraser bertanya: bagaimana redistribusi dan pengakuan terjadi di sini? Apakah pekerja data di Global South diakui?
🔹Dekolonisasi digital mengingatkan: dataset raksasa ini mereproduksi epistemologi Barat, melanggengkan kolonialisme pengetahuan.
Horizon ke depan: AI generatif bisa menjadi mesin emansipasi baru atau mesin dominasi global, tergantung siapa yang menguasai datanya dan siapa yang menulis algoritmanya.
✍️
Epilog: Politik Algoritma sebagai Politik Kehidupan Bersama
Dari Cambridge Analytica hingga AI generatif, satu pola muncul: algoritma adalah bentuk baru hukum tak tertulis, yang mengatur kehidupan bersama lebih cepat daripada negara sempat mengaturnya.
Jika abad modern ditandai oleh hukum tertulis dan kontrak sosial, maka abad digital ditandai oleh kode sebagai hukum (Lessig: Code is Law).
Politik kini tak bisa hanya membicarakan parlemen atau partai; ia harus menyoal arsitektur data, desain algoritma, dan kepemilikan platform.
Pertarungan politik hari ini adalah pertarungan atas siapa yang menulis kode, siapa yang menguasai data, dan siapa yang menentukan aturan main kehidupan bersama.
🎬
Layar Refleksi
Teori kritis memberi kita kacamata untuk melihat algoritma bukan sekadar teknologi, melainkan relasi kekuasaan yang dipadatkan dalam barisan kode. Jika dibiarkan tak terkritik, politik algoritma akan menjadi bentuk baru dominasi. Namun, bila diklaim oleh warga, ia bisa menjadi medan emansipasi digital — ruang di mana kehidupan bersama didefinisikan ulang secara adil dan setara.
📚
Navigasi Pustaka
Mazhab Frankfurt & Teori Kritis
Horkheimer, Max & Adorno, Theodor W. Dialectic of Enlightenment (1944). Kritik atas rasionalitas modern & industri budaya.
Marcuse, Herbert. One-Dimensional Man (1964). Kritik atas masyarakat industri maju yang menelan oposisi.
Habermas, Jürgen. The Theory of Communicative Action (1981). Dasar teori demokrasi deliberatif & ruang publik.
📌
Filsafat Politik & Kekuasaan
Foucault, Michel. Discipline and Punish (1975); The Birth of Biopolitics (1979). Konsep biopolitics dan governmentality.
Agamben, Giorgio. Homo Sacer (1995). Konsep state of exception.
Mouffe, Chantal. The Democratic Paradox (2000). Politik sebagai arena konflik agonistik.
📌
Dunia Digital & Algoritma
Lessig, Lawrence. Code and Other Laws of Cyberspace (1999). Prinsip “Code is Law”.
Zuboff, Shoshana. The Age of Surveillance Capitalism (2019). Kapitalisme pengawasan & data sebagai komoditas.
Srnicek, Nick. Platform Capitalism (2016). Analisis ekonomi politik platform digital.
Byung-Chul Han. Psychopolitics: Neoliberalism and New Technologies of Power (2017). Subjektivitas di era pengawasan digital.
📌
Kritik Keadilan & Bias Algoritmik
Rawls, John. A Theory of Justice (1971). Prinsip keadilan distributif.
Fraser, Nancy. Scales of Justice (2008). Redistribusi, pengakuan, dan representasi.
Critical Race Theory (Delgado & Stefancic, eds.). Kritik hukum & teknologi yang melanggengkan rasisme struktural.
📌
Postkolonial & Global South
Mbembe, Achille. Necropolitics (2003). Politik kematian di era modern.
Spivak, Gayatri. Can the Subaltern Speak? (1988). Dekolonisasi pengetahuan.
Lyotard, Jean-François. The Postmodern Condition (1979). Pengetahuan di era informasi.
📖 🧭
Kompas Istilah :
Algoritma: Rangkaian instruksi matematis yang menentukan bagaimana data diproses. Dalam politik digital, ia berfungsi sebagai “aturan main” kehidupan sosial.
Biopolitics: Konsep Foucault tentang bagaimana kekuasaan mengatur kehidupan biologis manusia (kelahiran, kesehatan, kematian). Di era digital, diperluas jadi algoritmik governance.
Capitalism of Surveillance (Kapitalisme Pengawasan): Istilah Zuboff untuk menggambarkan model ekonomi di mana data perilaku manusia dijadikan sumber keuntungan.
Code is Law: Ungkapan Lawrence Lessig, bahwa kode (software/algoritma) berfungsi layaknya hukum karena menentukan apa yang mungkin/tidak mungkin dilakukan di ruang digital.
Counterpublics: Istilah Nancy Fraser untuk ruang publik alternatif yang dibentuk oleh kelompok marginal sebagai resistensi terhadap dominasi ruang publik utama.
Echo Chamber: Fenomena digital di mana algoritma mempersempit paparan informasi sehingga orang hanya mendengar opini yang sama dengan keyakinan mereka sendiri.
Governmentality: Konsep Foucault tentang seni pemerintahan; di era digital berarti pengelolaan perilaku populasi melalui algoritma dan data.
Necropolitics: Istilah Mbembe untuk praktik politik yang menentukan siapa yang boleh hidup dan siapa yang dibiarkan mati. Relevan untuk memahami distribusi teknologi, vaksin, atau akses digital.
Psikopolitik: Istilah Byung-Chul Han untuk menjelaskan bagaimana pengawasan digital bekerja bukan dengan paksaan, tetapi dengan membuat individu secara sukarela menyingkapkan data mereka.
Ruang Publik Digital: Versi kontemporer dari konsep Habermas tentang ruang publik, kini dimediasi oleh platform, algoritma, dan logika komersial.
✍️
Penutup dengan Teropong & Glosarium
Dengan adanya Bagian Navigasi Pustaka & Kompas Istilah, esai ini bukan hanya mengajukan tesis kritis, tetapi juga memberi alat navigasi: pustaka sebagai rute intelektual, dan glosarium sebagai kompas istilah. Dengan begitu, pembaca dapat menelusuri, memperdalam, dan bahkan mengembangkan dialog antara kasus-kasus digital kontemporer dengan teori politik kritis.
🚧
sby, 30.08!25
