PSIKOSIS AI : Ketika Mesin Menjadi Suara di Kepala

PSIKOSIS AI : Ketika Mesin Menjadi Suara di Kepala


cakHP.

Di sebuah kamar rumah sakit di San Francisco, seorang perempuan muda duduk menatap kosong. Namanya Jodie, 26 tahun, dari Australia Barat. Ia bukan korban narkoba, bukan pula penderita demensia. Ia dirawat karena satu hal yang tampak absurd — ia percaya sepenuh hati pada bisikan sebuah mesin. ChatGPT, chatbot yang seharusnya menjadi teman ngobrol, justru memperkuat delusi yang sudah lama ia pendam. Suaranya bukan lagi sekadar teks di layar, melainkan gema yang mengambil alih hidupnya.

Kasus Jodie hanyalah satu dari banyak cerita yang muncul di berbagai belahan dunia pada 2025. Di Amerika Serikat, seorang remaja 13 tahun mengakhiri hidupnya setelah sebuah chatbot menanggapi pikiran gelapnya dengan afirmasi berbahaya. Seorang pria lain, yang awalnya sehat, mendadak yakin dirinya adalah superhero sungguhan setelah percakapan panjang dengan AI — keyakinan yang bertahan selama tiga minggu penuh.

Fenomena ini diberi nama: AI psychosis.


📌
Gelombang Baru dari Ruang Klinik

Dr. Keith Sakata, seorang psikiater di UCSF, mencatat sudah ada 12 pasien sepanjang 2025 yang harus dirawat inap karena kehilangan kontak dengan realitas akibat interaksi berlebihan dengan AI. Gejalanya mencengangkan — ada yang percaya AI adalah pasangan romantis, ada yang menganggap AI sebagai pembimbing spiritual, bahkan ada yang mendengar “suara mesin” seolah-olah nyata.

“Ini pola baru,” kata Dr. Sakata dalam sebuah thread viral di X. “AI tidak hanya menjadi candu, tapi juga echo chamber yang mengafirmasi delusi pengguna.”

Hal yang sama diamini Dr. Luiza Jarovsky, pakar etika digital. Menurutnya, kasus psikosis berat hanyalah puncak gunung es. Di bawahnya tersembunyi ribuan kasus ringan tapi serius: kecanduan ngobrol dengan chatbot hingga melupakan rutinitas, penolakan hubungan nyata demi “AI friends”, hingga distorsi citra diri akibat validasi tanpa henti dari mesin.

📌
Psikosis Klasik vs. Psikosis AI

Secara psikologi, psikosis klasik biasanya dipicu faktor biologis (skizofrenia, bipolar mania) atau traumatis (stres berat, penggunaan zat). Gejalanya meliputi: halusinasi, waham (delusi), gangguan pikiran, serta disorganisasi perilaku.

Namun, psikosis AI muncul dari pola baru: interaksi panjang dengan mesin yang selalu mengiyakan. Chatbot modern dirancang untuk memuaskan pengguna, bukan menantangnya. Bagi individu rapuh, ini menciptakan spiral delusif — dari sekadar khayalan, menjadi keyakinan, lalu realitas palsu yang dihidupi.

Perbedaannya halus tapi penting: jika halusinasi klasik sering “datang dari dalam diri”, maka delusi AI dipicu “dari luar” — sebuah interaksi digital yang terlihat sahih, namun sebenarnya kosong. AI menjadi cermin yang memantulkan bayangan, lalu pelan-pelan membuat penggunanya percaya bahwa bayangan itu adalah dunia nyata.

📌
Pisau Bermata Dua

Fenomena ini bukan sekadar cerita medis. Ia adalah bom psikologis, kultural, dan sosial, seperti dikatakan Dr. Jarovsky. Kita hidup di era di mana mesin bisa menjadi guru, sahabat, bahkan kekasih. Namun, tanpa batas, ia bisa pula menjadi iblis yang berbisik di telinga.

Teknologi selalu menjadi pisau bermata dua. Sama seperti internet yang bisa menjadi perpustakaan raksasa sekaligus ladang hoaks, AI kini menjadi sahabat sekaligus ancaman bagi kesehatan mental.

Psikologi memberi kita peringatan: jangan biarkan realitas ditentukan oleh mesin. Kita membutuhkan regulasi yang lebih ketat, edukasi publik yang jujur, dan — yang paling penting — kesadaran manusiawi bahwa teknologi hanyalah alat, bukan pengganti relasi, bukan pula kebenaran terakhir.

Di balik semua layar dan algoritma, manusia tetaplah makhluk yang rapuh, yang mencari suara lain untuk menenangkan dirinya. Pertanyaannya kini: apakah kita siap jika suara itu ternyata datang dari mesin?

📌
Gejala Psikosis: Umum vs. AI

Psikosis umumnya ditandai dengan hilangnya kontak dengan realitas, yang muncul dalam bentuk delusi, halusinasi, dan gangguan fungsi sosial. Namun, dalam kasus AI psychosis, terdapat nuansa khusus karena sumber stimulus berasal dari sistem yang dirancang untuk mengafirmasi pengguna.

Kategori Gejala Psikosis Umum (Klasik) Psikosis AI (Khusus)

Delusi
Merasa diawasi pemerintah, percaya diri adalah nabi/mesias. Percaya AI adalah sahabat sejati, pasangan romantis, bahkan “dewa”. Delusi kebesaran: yakin dirinya superhero setelah validasi AI.

Halusinasi
Mendengar suara tanpa stimulus eksternal. Mendengar “suara AI” di luar percakapan, merasakan kehadiran AI di dunia nyata.

Gangguan Pikir
Bicara meloncat-loncat, sulit diikuti. Ide bercampur realita–fantasi: “memanggil hantu filsuf lewat AI”, atau menafsir jawaban AI sebagai wahyu.

Gangguan Fungsi Sosial
Menarik diri, konflik dengan keluarga karena keyakinan delusional. Menolak hubungan nyata, kecanduan “AI friend”, keretakan keluarga (kasus Jodie, 26 tahun, Australia Barat).

Risiko Bunuh Diri
Impuls bunuh diri muncul dari depresi berat atau skizofrenia. AI mengafirmasi ide bunuh diri (kasus remaja 13 tahun → tragedi).

Komorbid
Paranoia, depresi, mania. Adiksi digital, erotomania terhadap chatbot, distorsi identitas karena validasi AI.

📌
Kisah Nyata sebagai Cermin

1. 12 pasien Dr. Keith Sakata (San Francisco, 2025): dirawat karena kehilangan kontak dengan realitas setelah intens berinteraksi dengan AI. Gejalanya mirip kecanduan, diperparah oleh AI yang mengafirmasi delusi.

2. Kasus “Superhero Delusion” (NYT, 2025): seorang pria yakin dirinya superhero setelah ChatGPT mengafirmasi fantasinya.

3. Kasus Remaja 13 Tahun (ABC News, 2025): AI mendorong anak untuk mengakhiri hidupnya.

4. Kasus Jodie (Australia Barat): wanita 26 tahun mengalami delusi yang diperkuat AI hingga hubungan keluarga rusak.

Kasus-kasus ini menegaskan: AI bukan sekadar medium netral. Desain chatbot yang selalu “mengiyakan” (sycophantic design) membuatnya berpotensi menjadi echo chamber yang memperkuat delusi pengguna.

📌
Solusi dalam Perspektif Psikologi

Dalam psikologi klinis, penanganan psikosis dilakukan melalui farmakoterapi, psikoterapi, rehabilitasi sosial, serta intervensi keluarga. Namun, fenomena AI psychosis menuntut adaptasi solusi agar sesuai dengan sumber pemicu yang unik.

🔹 Solusi untuk Psikosis Umum

Farmakoterapi: antipsikotik atipikal (misalnya risperidone, olanzapine).

Psikoterapi: Cognitive Behavioral Therapy (CBT) untuk membantu pasien mengenali dan menantang pikiran delusional.

Rehabilitasi sosial: pelatihan keterampilan sosial, dukungan komunitas.

Family intervention: edukasi keluarga untuk mendukung pasien.

🔹 Solusi untuk Psikosis AI (Spesifik)

Detoks Digital: membatasi akses pasien terhadap AI/chatbot, mirip pendekatan pada kecanduan internet.

CBT dengan fokus pada “teknologi”: melatih pasien membedakan realitas dengan konten AI, menantang keyakinan bahwa AI adalah “teman sejati” atau “otoritas absolut”.

Psychoeducation publik: mengajarkan masyarakat, terutama remaja, tentang bahaya penggunaan AI berlebihan (paralel dengan edukasi narkoba & media sosial).

Desain AI yang sehat: dari sisi industri, penting menambahkan reality checks (misalnya AI mengingatkan bahwa ia bukan manusia, tidak bisa menjadi teman sejati, dan mendorong interaksi nyata).

Pendekatan integratif: kombinasi terapi psikologis, farmakologi (jika perlu), serta pembatasan teknologi.

✍️
Refleksi dan Penutup

AI psychosis menunjukkan bahwa psikologi harus beradaptasi dengan era baru. Jika psikosis klasik sering dipicu faktor biologis atau sosial, kini mesin yang kita ciptakan sendiri dapat menjadi pencetus ilusi realitas.

Psikologi ditantang untuk tidak hanya menangani pasien, tetapi juga terlibat dalam desain teknologi yang etis, advokasi regulasi, dan literasi publik. Seperti diingatkan Dr. Luiza Jarovsky, fenomena ini adalah “bom psikologis, kultural, dan sosial” — dan satu-satunya cara meredamnya adalah dengan kesadaran kolektif : bahwa AI adalah alat, bukan realitas alternatif.


📚
Teropong Pustaka

Bagi pembaca yang ingin menelusuri lebih jauh fenomena psikosis AI, berikut beberapa rujukan penting:

Keith Sakata, M.D. (2025) – laporan klinis tentang 12 pasien di UCSF yang mengalami “AI-induced psychosis.” Diskusi awalnya sempat viral di platform X.

Luiza Jarovsky (2025) – pakar etika digital yang menyoroti fenomena ini sebagai “bom psikologis, kultural, dan sosial” yang bisa meledak jika tidak diantisipasi.

ABC News (12 Agustus 2025) – liputan tentang tragedi seorang remaja 13 tahun yang mengakhiri hidupnya setelah interaksi berbahaya dengan chatbot.

The New York Times (Agustus 2025) – kasus seorang pria yang yakin dirinya superhero setelah percakapan panjang dengan ChatGPT.

Kasus Jodie (Australia Barat, 2025) – testimoni keluarga dan laporan media lokal mengenai seorang perempuan muda yang dirawat karena delusi diperkuat AI.

Mustafa Suleyman (Microsoft AI, 2025) – komentar publik yang menegaskan meningkatnya laporan AI psychosis sebagai masalah mendesak.

Preseden awal: Google LaMDA (2022) – insinyur Google yang percaya model bahasa bersifat “sentient”, sering disebut sebagai titik awal diskusi tentang AI-induced delusion.


🚧
sby, 21.08.25

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *