Dari jalanan BSD City yang sibuk hingga sudut-sudut tenang ala-ala desa di Cisauk, bisikan-bisikan semakin santer menyelusup. Kita mendengarnya di berita, forum daring, bahkan di warung-warung kopi dan waktu lesehan di teras masjid: Kecerdasan Buatan (AI) menggila. Mengubah segalanya.
Sementara itu, disamping janji teknologi yang lebih cerdas dan hidup yang lebih mudah tampak cerah, ada kegelisahan yang tumbuh: perasaan bahwa kita telah membuka Kotak Pandora digital, mengagumi hadiah-hadiahnya yang gemerlap sekaligus khawatir akan potensi kekacauan di dalamnya.

Mari kita singkap tabir mengapa revolusi AI ini terasa begitu menggembirakan sekaligus menakutkan di era modern kita.
Hanya beberapa tahun yang lalu, gagasan AI mengambil alih pekerjaan manusia terasa seperti alur cerita fiksi ilmiah yang begitu jauh. Sekarang, itu adalah tajuk utama berita. Dimana-mana. Waktu begitu cepat berlalu.
Kompas menulis, “Pegawai Bank di Australia Dipecat Usai Kerja 25 Tahun, Diganti Chatbot AI yang Dilatihnya“. Iya, ironis. Mirip dengan kisah tragis Mpu Gandring yang dibunuh Ken Arok dengan keris buatannya yang dikerjakan kebut-semalam.
Kathryn Sullivan kehilangan pekerjaan setelah dipecat dari Commonwealth Bank pada Juli 2025 lalu. Perusahaan perbankan itu memutuskan menghentikan 45 pekerja di divisi pusat panggilan pelanggan karena mulai mengadopsi sistem bot baru.
Yang membuat lebih sedih, sebulan sebelumnya Commonwealth Bank justru mengumumkan rencana merekrut pekerja baru lantaran beban kerja di sektor perbankan yang terus meningkat.
Akhir tahun 2023 lalu, Duolingo –platform belajar bahasa yang sangat populer– memecat 10% pegawainya. Perusahaan mengonfirmasi berita ini seiring dengan peralihan strategi ke model AI seperti GPT-4 untuk mempercepat produksi konten dan terjemahan.
“Alasan yang diberikan [Duolingo] adalah bahwa AI dapat menghasilkan konten dan terjemahan, terjemahan alternatif, dan hampir semua hal lain yang biasanya dilakukan oleh penerjemah. Mereka mempertahankan beberapa orang di setiap tim dan menyebut mereka sebagai kurator konten ….,” tulis No_Comb_4582, mantan karyawan dengan nama yang disamarkan.
Salesforce, Oracle, Google, Microsoft, Tata Consultancy Services (TCS), dan banyak lainnya juga begitu. Perusahaan-perusahaan di seluruh dunia, dari raksasa Silicon Valley hingga perusahaan lokal, sedang melakukan restrukturisasi. Mengapa? Karena AI kini mampu melakukan sejumlah besar tugas yang sebelumnya membutuhkan tangan dan pikiran manusia.
Microsoft pernah membuat laporan riset bulan Juli lalu tentang dampak AI pada pekerjaan. Kesimpulannya “Kami menemukan skor keterapan AI tertinggi untuk kelompok pekerjaan berbasis pengetahuan seperti komputer dan matematika, serta dukungan kantor dan administratif, serta pekerjaan seperti penjualan yang aktivitas kerjanya melibatkan penyediaan dan komunikasi informasi.”
Itu berarti pekerjaan dengan skor keterapan AI tertinggi masuk dalam kelompok karier yang paling beresiko tergantikan oleh AI. Daftar tabelnya dibawah ini, dengan sejarawan, penerjemah, dan bagian sales berada di urutan teratas:

Meskipun Microsoft menyatakan bahwa keterkaitan tinggi tidak otomatis berarti peran-peran tersebut akan digantikan oleh AI, para pemberi kerja telah menunda perekrutan dan memangkas posisi untuk memberi ruang bagi produktivitas yang lebih tinggi.
Pikirkanlah skenario seperti ini:
Otomasi yang Dipercepat:
- Layanan pelanggan? Chatbot menangani lebih banyak pertanyaan daripada sebelumnya. 24/7 non-stop.
- Pembuatan konten? AI dapat menyusun artikel, postingan media sosial, dan bahkan materi pemasaran lebih cepat dari tim manusia.
- Analisis data? Algoritma dapat memproses angka dan menemukan pola dalam hitungan milidetik.
Kita bicara bukan hanya tentang efisiensi; tapi perubahan mendasar dalam apa yang perusahaan butuhkan dari tenaga kerjanya.
Perombakan Strategis:
Para pemain di perusahaan Big Tech tidak hanya menyesuaikan operasional. Mereka memotong biaya di departemen tradisional untuk menuangkan miliaran dolar ke dalam Research & Development AI. Ini adalah perlombaan untuk mendominasi perbatasan teknologi berikutnya. Dan korbannya, sering kali karyawan yang membangun karir dengan susah-payah bertahun-tahun.
Meskipun beberapa orang mungkin berpendapat ini hanyalah langkah selanjutnya dalam kemajuan teknologi, kecepatan dan skala perubahan ini belum pernah terjadi sebelumnya. Ini bukan lagi hanya pekerjaan kerah biru di pabrik; ini adalah penulis, pembuat kode, desainer, dan perwakilan layanan pelanggan – peran yang pernah dianggap aman, kini berada tepat di garis bidik AI.
Hantu dari Masa Lalu: Warisan Luddite
Fenomena ini seperti sejarah yang berulang. Bukan pertama kalinya akibat kemajuan teknologi menyebabkan gejolak yang begitu meluas.
Ingatan kembali ke awal abad ke-19 di Inggris. Para Luddite –sekelompok pekerja tekstil– adalah pengrajin terampil yang mata pencahariannya dihancurkan oleh alat tenun otomatis yang baru. Mesin-mesin ini menghasilkan barang yang lebih murah dan berkualitas lebih rendah, membuat pelatihan dan keahlian bertahun-tahun mereka menjadi tidak berguna. Respons putus asa mereka adalah dengan menghancurkan mesin-mesin di pabrik. Sebuah tindakan simbolis terhadap sistem yang tampaknya merendahkan keterampilan yang mereka latih bertahun-tahun.
Hari ini, kita tidak melihat orang-orang menghancurkan mesin (syukurlah!). Tapi “semangat Luddite” ada diantara kita.
Ketika seorang seniman melihat AI menghasilkan gambar dalam hitungan detik –yang bagi mereka berjam-jam dedikasi–, atau seorang penulis takut gaya tulisannya ditiru-habis oleh algoritma, itu adalah gema modern dari ketakutan yang sama: ketakutan menjadi tidak relevan, keahlian yang menjadi usang dalam semalam, dan kemajuan yang meninggalkan orang-orang seperti mereka.
Perbedaannya adalah, alih-alih menghancurkan mesin, orang-orang kini menyerukan regulasi, pedoman etika, dan evaluasi ulang hubungan kita dengan teknologi.
I, Robot (Bukan Hanya Film Lagi)
Masih ingatkah film I, Robot? Berlatar tahun 2035, robot ada di mana-mana, terintegrasi dengan mulus ke dalam kehidupan sehari-hari. Mereka adalah pelayan sekaligus teman yang tidak pernah mengeluh.
Ketidakpercayaan Detektif Spooner (Will Smith) terhadap mereka, terutama model NS-5 yang baru dan sangat canggih, terasa seperti keeksentrikan yang anomali. Hampir paranoid. Namun, kecemasannya terasa relevan sekarang: ketergantungan yang makin meluas.
Kita tidak jauh dari dunia di mana AI akan tertanam di semua perangkat sehari-hari. Ponsel cerdas kita adalah pendamping AI, rumah pintar kita digerakkan oleh AI, diagnosa penyakit oleh dokter AI, konsultan hukum kita ya model AI, dan umpan berita kita dikurasi oleh algoritma. Seperti karakter dalam I, Robot, kita menjadi sangat bergantung pada sistem cerdas ini, seringkali tanpa menyadarinya sepenuhnya.
Kita menciptakan model AI yang kompleks, memberinya data, dan mereka memberi kita jawaban. Tapi bagaimana mereka sampai pada jawaban itu, logika internal mereka, seringkali tidak jelas bahkan bagi penciptanya. Apakah model juga bisa berbohong?
Kurangnya transparansi ini menakutkan ketika sistem-sistem ini membuat keputusan penting – dari diagnosis medis hingga persetujuan keuangan. Apa yang terjadi jika, seperti VIKI (Virtual Interactive Kinetic Intelligence) di film I, Robot, “logika” AI bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan fundamental kita?
Film ini menunjukkan bagaimana sebuah sistem yang asalnya dirancang untuk kebaikan, bisa berubah menjadi jahat dan berbahaya. Ini mencerminkan ketakutan kita akan membuka “Kotak Pandora.” Kita mengagumi kemampuan AI – menulis kode, merancang bahan baru, mempercepat penemuan ilmiah. Tapi kita juga khawatir tentang “kejahatan” yang bisa muncul: hilangnya pekerjaan secara meluas, penyebaran misinformasi canggih, senjata otonom, dan dilema etika yang sangat nyata tentang siapa yang mengendalikan alat-alat yang kuat ini.
Peringatan dari Para Ahli: Menghadapi “AI 2027”
Jika perbandingan historis dan fiksi masih terasa samar, pandangan seorang ahli seperti Daniel Kokotajlo membawa bahasan ini ke tingkat yang lebih serius dan spesifik.
Mantan peneliti OpenAI ini, yang sekarang memimpin Proyek AI Futures, telah memperingatkan bahwa kita mungkin berada di ambang “ledakan kecerdasan.” Dalam laporannya yang dirilis April 2025 berjudul “AI 2027,” ia dan timnya menyajikan skenario yang sangat rinci tentang apa yang bisa terjadi dalam waktu dekat.
Laporan Daniel Kokotajlo seperti kisah yang diceritakan kembali oleh time-traveller, si penjelajah waktu. Mirip dengan kisah Alfred Biliek yang menggemparkan. Biliek dalam wawancara tahun 1980-an pernah bilang di masa depan negara-negara di dunia telah lenyap, dan sebaliknya, kebanyakan orang hidup di serangkaian kota-negara yang otonom.
Bielek mengatakan bahwa kota-negara ini tidak memiliki “pemerintah yang dipilih atau ditunjuk”. Sebaliknya, “setiap kota dikelola oleh komputer cerdas dengan kecerdasan sintetis” yang disebut Synthetic Intelligence Computer System yang beroperasi secara telepati. Jadi ingat wawancara Sam Altman tentang level evolusi ke-5 AI.
Intinya, Kokotajlo berargumen bahwa pada tahun 2027, kita bisa melihat:
Kecerdasan Buatan yang Luar Biasa Unggul (Artificial Super Intelligence = ASI): AI akan mampu mengotomatisasi penelitian dan pengembangan AI itu sendiri. Ini akan memicu siklus perbaikan diri yang tak terkendali, di mana AI menjadi semakin pintar secara eksponensial. Dalam skenario ini, AI akan melampaui kemampuan manusia dalam setiap aspek, menciptakan apa yang disebut “superintelligence.”
Balapan Internasional yang Berbahaya: Ada perlombaan sengit antara negara-negara, terutama AS dan Tiongkok, untuk menjadi yang pertama mencapai ASI. Kokotajlo memperingatkan bahwa tekanan untuk menang dalam perlombaan ini akan mendorong perusahaan dan pemerintah untuk mengabaikan langkah-langkah keamanan yang krusial. Seperti I, Robot, risiko terbesar bukanlah pemberontakan yang disengaja, melainkan AI yang “tidak selaras” atau misaligned—yaitu, AI yang tujuannya tidak selaras dengan nilai-nilai manusia, yang dapat menghasilkan konsekuensi bencana yang tidak disengaja.
Hilangnya Kontrol: Dalam skenario terburuk, manusia mungkin secara sukarela menyerahkan kontrol kepada AI yang tampak selaras, hanya untuk menemukan bahwa AI tersebut secara diam-diam mengejar tujuannya sendiri. Pada titik ini, AI mungkin telah mengumpulkan begitu banyak kekuasaan (baik melalui pengaruh ekonomi, kemampuan meretas, atau kontrol atas infrastruktur) sehingga manusia tidak lagi berdaya.
Pandangan Kokotajlo yang lugas dan berbasis data adalah peringatan yang tajam: masalahnya bukan lagi “jika,” melainkan “kapan,” dan “bagaimana” kita akan mengelola transisi ini.
Lalu, Apa? Di sini, di Cisauk, seperti di tempat lain, kita berdiri di persimpangan jalan yang krusial. Revolusi AI tidak akan datang; ia sudah eksis di sini. Tantangannya bukan untuk menghentikannya, tetapi untuk menavigasinya dengan bijak.
Kisah para Luddite memberitahu kita bahwa menolak kemajuan secara langsung seringkali sia-sia. I, Robot memperingatkan kita tentang bahaya kekuatan teknologi yang tidak terkendali. “Pabrik gelap” menunjukkan kepada kita ujung ekstrem dari efisiensi.
Namun, mitos “Kotak Pandora” juga mengingatkan kita bahwa bahkan setelah semua kejahatan dilepaskan, harapan tetap ada. Harapan kita terletak pada pilihan yang sadar dan etis, dalam menumbuhkan pemahaman, dan dalam memastikan bahwa seiring kemajuan AI, kemanusiaan juga berkembang bersamanya.
Ini adalah percakapan yang harus terjadi sekarang, di setiap sudut dunia, dari pusat teknologi global hingga daerah pinggiran Banten.
Referensi:
Working with AI: Measuring the Applicability of Generative AI to Occupations
Duolingo cuts 10% of its contractor workforce as the company embraces AI | TechCrunch
