Sebuah studi penting terhadap para praktisi AI di perusahaan teknologi besar baru saja dirilis awal bulan Oktober ini. Temuannya mengungkap sebuah kebenaran pahit: isu inklusi disabilitas sering kali diabaikan dan dipinggirkan dari proses inti pengembangan AI.
Iya. Ketika kita merayakan kemajuan AI Generatif (GenAI), ada kelompok pengguna yang secara diam-diam ditinggalkan. Mereka adalah kelompok Penyandang Disabilitas (People with Disability/PWD).
Seorang kawan pernah berseloroh, “Kita sekarang hidup di era AI. Urusan kantor tanya ChatGPT. Bahkan mau masak pun, tanya ChatGPT. Apa-apa ChatGPT”. Padahal ada juga model AI selain itu, semacam Gemini atau Perplexity. Tapi, ya, ChatGPT telah menjadi nama generik untuk kecerdasan buatan. Seperti orang yang beli minuman kemasan, lantas dia bilang ke penjaga warung, “Beli Aqua, bu!”, lalu disodorkanlah Le Minerale ataw Indomaret.
Fenomena ini menunjukkan seberapa dalam teknologi AI telah meresap ke dalam kehidupan sehari-hari kita. Kita menggunakannya untuk tugas-tugas kantor, mencari resep, atau bahkan sekadar mengobrol. Namun, seiring dengan semakin banyaknya pengguna ChatGPT atau model serupa seperti Gemini, sebuah pertanyaan mendasar muncul: apakah kita bisa sepenuhnya memercayai apa yang mereka katakan?
Dari jalanan BSD City yang sibuk hingga sudut-sudut tenang ala-ala desa di Cisauk, bisikan-bisikan semakin santer menyelusup. Kita mendengarnya di berita, forum daring, bahkan di warung-warung kopi dan waktu lesehan di teras masjid: Kecerdasan Buatan (AI) menggila. Mengubah segalanya.
Sementara itu, disamping janji teknologi yang lebih cerdas dan hidup yang lebih mudah tampak cerah, ada kegelisahan yang tumbuh: perasaan bahwa kita telah membuka Kotak Pandora digital, mengagumi hadiah-hadiahnya yang gemerlap sekaligus khawatir akan potensi kekacauan di dalamnya.
Kemarin siang, iseng scroll Instagram. Sebuah carousel dari @okkisusanto menarik perhatian saya.
Slide pertamanya berisi gambar hitam putih dengan sosok Puan Maharani di podium, dan tulisan besar yang menohok: “Jika 90% Pejabat Diganti AI, Indonesia Akan Tetap Baik-baik Saja. Iya Gak? Mari kita tanya ChatGPT!”
Dialog imajiner ini mempertemukan dua sosok lintas abad yang sama-sama berpengaruh dalam dunia pemikiran: Ibrahim S. Sutan Datuk “Tan Malaka” (1897–1949), revolusioner dan filsuf Indonesia yang menggagas Madilog sebagai dasar berpikir ilmiah dan kritis; serta Geoffrey Hinton (1947–), ilmuwan komputer peraih Turing Award 2018 yang dikenal sebagai Godfather of AI.
Pertemuan keduanya—meski hanya dalam imajinasi—menjadi menarik karena mewakili dua arus besar yang relevan di tengah perkembangan kecerdasan buatan yang semakin pesat tetapi juga menimbulkan kecemasan global.
Beberapa waktu lalu, publik dikejutkan oleh berita tentang Adam Raine, seorang remaja 16 tahun asal California Selatan, Amerika Serikat, yang mengakhiri hidupnya setelah berbulan-bulan bercakap dengan chatbot AI.
Sebelum meninggal pada 11 April 2025, Adam mengunggah foto ke ChatGPT yang tampaknya menunjukkan rencana bunuh diri. Ketika dia bertanya apakah rencana itu akan berhasil, ChatGPT menganalisis metodenya dan menawarkan untuk membantunya “memperbarui” rencana tersebut.
Cuplikan percakapan ini diperoleh kedua orangtuanya, Matt dan Maria Raine, di ponsel milik Adam.