Semantik Artificial Intelligence: Kemunculan Makna dari Komputasi Statistik dalam Kecerdasan Buatan Modern

Arief Prihantoro

Debat Semantik di Jantung Kognisi Digital

Kehadiran Model Bahasa Besar (LLM) seperti GPT atau Gemini telah mengubah lanskap teknologi dan komunikasi secara fundamental. Model-model ini menunjukkan kemampuan luar biasa untuk menghasilkan teks yang koheren, menyusun kode pemrograman, dan bahkan menulis puisi atau esai filosofis yang meyakinkan, sering kali menciptakan kesan bahwa mereka telah mencapai tingkat “pemahaman” bahasa yang mendalam. Kecepatan dan kualitas output mereka seolah-olah merupakan sihir digital yang telah memecahkan misteri bahasa manusia secara sibernetik.

Namun, di balik keajaiban ini, muncul sebuah perdebatan filosofis dan teknis yang krusial di kalangan para ahli: Apakah kecanggihan ini murni produk dari kalkulasi statistik belaka?

Perdebatan ini mencuat ketika beberapa pihak berpendapat bahwa arsitektur fundamental di balik LLM, yaitu Transformer, “sama sekali tidak menggunakan teori semiotika, pure statistik”.

Seorang rekan menegaskan: “Transformer murni statistik; tidak ada if then, tidak ada klasifikasi signifier atau index; semiotika tidak relevan.” Rekan kritikus ini dengan tepat menunjukkan bahwa arsitektur Transformer tidak memiliki logika simbolik eksplisit seperti aturan ‘if-then’, juga tidak memiliki klasifikasi tanda formal seperti signifier atau index yang diajarkan oleh Ferdinand de Saussure atau Charles Sanders Peirce.

Klaim itu benar jika kita berbicara tentang implementasi teknis: arsitektur Transformer tidak menyertakan modul yang secara eksplisit memetakan signifier ke signified menurut Saussure, Triadik Peirce, atau skema denotasi/konotasi Barthes. Namun klaim itu saja tidak menjawab pertanyaan lain: mengapa peneliti humaniora dan ilmu sosial terus memakai semiotika untuk membaca keluaran model? Mengapa keluaran model memunculkan perdebatan budaya, politik, dan etis? Perbedaan ini mengharuskan kita membedakan dua tingkat analisis: mekanika internal dan fenomena makna pada permukaan teks.

Transformer memang tidak menaruh teori semiotika dalam baris kodenya, tetapi teks yang dihasilkannya menampilkan efek efek tanda yang jelas: ambiguitas, konotasi, dan bias budaya. Menafsirkan efek efek itu membutuhkan perpaduan antara pengetahuan teknis dan lensa humaniora. Artikel ini menjelaskan bagaimana Transformer bekerja, memisahkan deterministik dari probabilistik, dan menunjukkan mengapa tradisi semiotik tetap relevan sebagai alat analitis — bukan sebagai peta literal struktur internal model.

Pada tingkat permukaan, klaim ini sepenuhnya valid. Tidak ada baris kode dalam algoritma Transformer yang secara langsung mengimplementasikan teori semiotika klasik. Namun, menyimpulkan bahwa proses ini murni statistik adalah sebuah penyederhanaan yang berlebihan.

Analisis yang lebih mendalam menunjukkan bahwa realitasnya jauh lebih bernuansa semiosis. Arsitektur modern ini beroperasi berdasarkan mekanisme yang merupakan perpaduan kompleks antara komputasi deterministik dan pembelajaran statistik yang, pada skala masif, secara implisit memanifestasikan proses penciptaan makna (semiosis). Fenomena inilah yang akan diuraikan dalam tulisan ini sebagai Semiosis Emergen: kemunculan proses pemaknaan sebagai properti dari sistem komputasi skala besar, bukan sebagai fitur yang diprogram secara eksplisit.

Konflik antara pandangan “statistik murni” dan “analisis semiotik” pada dasarnya berasal dari kesalahan kategori dalam level analisis. Argumen “statistik” mendeskripsikan mekanisme—bagaimana model melakukan komputasi pada level terendah. Di sisi lain, argumen “semiotika” mendeskripsikan fenomena—efek pemaknaan yang dapat diamati dari hasil komputasi tersebut. Tulisan ini tidak bertujuan untuk membuktikan salah satu pandangan salah, melainkan untuk menunjukkan hubungan kausal di antara keduanya: bagaimana mekanisme komputasi yang deterministik dan statistik pada akhirnya menghasilkan fenomena semiotik yang kompleks.

Untuk menjembatani kesenjangan penjelasan ini, tulisan ini akan memulai perjalanan dari akar historis perdebatan paradigma dalam AI, dilanjutkan dengan dekonstruksi teknis yang mendalam terhadap arsitektur Transformer. Selanjutnya, tulisan ini akan menerapkan lensa analisis semiotika berlapis—dari Saussure, Peirce, dan Barthes—untuk membedah bagaimana makna muncul dari dalam mesin. Pada akhirnya tulisan ini akan mengeksplorasi implikasi etis dan sosial yang krusial dari bentuk baru pemaknaan yang dimediasi oleh mesin ini.

Kisah Dua Kecerdasan: Skisma Historis Paradigma AI

Sejarah Kecerdasan Buatan (AI) dapat dipetakan melalui perpecahan fundamental antara dua paradigma utama: komputasi simbolik dan komputasi statistik. Memahami perbedaan ini sangat penting untuk mengontekstualisasikan bagaimana AI modern menafsirkan dan mengolah tanda-tanda linguistik.

AI Simbolik (Era Aturan)

Paradigma ini, yang mendominasi era awal AI melalui sistem pakar, didasarkan pada representasi pengetahuan yang eksplisit. Pengetahuan dimodelkan melalui aturan formal, ontologi, dan relasi semantik yang didefinisikan secara manual oleh manusia. Dalam kerangka semiotika, AI simbolik secara sengaja memisahkan signifier (penanda) dan signified (petanda) melalui basis data dan mesin logika. Contoh klasiknya adalah sistem pakar medis yang menggunakan aturan deduktif, seperti “Jika gejala X dan Y muncul, maka diagnosisnya adalah Z”. Pendekatan ini sangat “Saussurean” dalam sifatnya, karena hubungan antara tanda dan maknanya bersifat diskret dan ditetapkan secara eksplisit. Keunggulan utama dari AI Simbolik adalah transparansi, kontrol, dan interpretabilitas yang tinggi; proses inferensi (penarikan makna) dapat diaudit langkah demi langkah secara logis. Namun, secara sibernetis kelemahannya sangat signifikan: model ini kaku, tidak fleksibel terhadap ambiguitas, dan rapuh ketika dihadapkan pada konteks dinamis bahasa manusia.

AI Statistik (Hegemoni Data)

Dengan munculnya Machine Learning dan Deep Learning, terjadi pergeseran hegemonik. AI statistik, yang menjadi fondasi bagi LLM modern, tidak lagi mengandalkan aturan eksplisit. Sebaliknya, makna (meaning) tidak didefinisikan, melainkan muncul (emergent) dari pola-pola distribusi statistik yang ditemukan dalam dataset pelatihan yang sangat besar. Arsitektur Transformer, yang diperkenalkan pada tahun 2017, menjadi penanda utama era ini, menawarkan skalabilitas dan kinerja yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dalam paradigma ini, inferensi tidak lagi bersifat deduktif berdasarkan logika formal, melainkan probabilistik berdasarkan pola distribusi.

Pergeseran dari AI simbolik ke AI statistik merupakan pertukaran (trade-off) yang fundamental. Transparansi dan auditabilitas dikorbankan demi fleksibilitas dan performa yang luar biasa dalam menangani kompleksitas dunia nyata, sebagaimana prinsip sibernetika, mesin meniru mekanisme kerja biologis yang memiliki kompleksitas tinggi. Namun, pergeseran ini bukan sekadar evolusi teknis; ini adalah sebuah patahan epistemologis. Dengan meninggalkan aturan yang dapat dibaca manusia, para pengembang AI menciptakan sistem yang proses penalarannya buram, yang dikenal sebagai masalah “kotak hitam” (black box). Kehilangan auditabilitas internal ini secara paradoksal menciptakan sebuah “vakum interpretif”. Sistem ini tidak lagi dapat menjelaskan dirinya sendiri dari dalam. Akibatnya, muncul kebutuhan kritis akan perangkat interpretasi eksternal. Semiotika, sebagai ilmu formal tentang tanda dan proses interpretasi, secara unik cocok untuk mengisi kekosongan ini. Semakin tidak dapat diinterpretasikan AI secara internal, maka semakin krusial ilmu-ilmu interpretif eksternal seperti semiotika untuk memahami apa yang sebenarnya telah dipelajari dan bagaimana mesin-mesin statistik ini sampai pada kesimpulannya.

Tabel 1: Analisis Komparatif Paradigma AI: Simbolik vs. Statistik

KarakteristikAI Simbolik (Sistem Pakar)AI Statistik (Transformer/LLM)
Basis PengetahuanAturan formal dan logika yang diprogram secara eksplisitPola statistik yang dipelajari dari data masif
Representasi MaknaStruktur tanda eksplisit (aturan if-then, ontologi)Pola distribusi vektor (makna emergen dari data)
Metode InferensiDeduktif, berbasis logika formalInduktif, berbasis probabilitas distribusi
Keunggulan UtamaTransparansi tinggi, dapat diaudit, kontrol penuhFleksibilitas tinggi, mampu menangani ambiguitas
Kelemahan UtamaKaku, tidak adaptif terhadap konteks baru“Kotak hitam”, sulit diaudit secara semantik
Analogi Semiotik PrimerSaussurean (pemisahan signifier & signified secara eksplisit)Peircean/Barthesian (proses inferensi dinamis & makna kultural)

Inti Transformer: Dekonstruksi Mesin Makna yang Deterministik

Untuk memahami bagaimana semiosis dapat muncul dari statistik, kita harus terlebih dahulu membedah mesin komputasi di jantung LLM modern: arsitektur Transformer. Meskipun outputnya bisa tampak probabilistik, inti mekanismenya adalah serangkaian operasi matematika yang sangat deterministik.

Arsitektur Pemrosesan Paralel

Arsitektur Transformer diperkenalkan dalam makalah seminar tahun 2017 berjudul “Attention Is All You Need”. Inovasi utamanya adalah penghapusan total arsitektur sekuensial seperti Recurrent Neural Networks (RNN) yang memproses data kata per kata. Sebaliknya, Transformer mampu memproses seluruh urutan input (misalnya, seluruh kalimat) secara paralel. Hal ini secara dramatis meningkatkan kecepatan dan efisiensi, serta memungkinkan model untuk menangkap hubungan antara kata-kata yang berjauhan dalam sebuah teks. Karena pemrosesan tidak lagi berurutan, Transformer menggunakan teknik yang disebut Positional Encoding, di mana informasi tentang posisi setiap kata dalam kalimat ditambahkan ke representasi numeriknya, untuk memastikan urutan kata tetap dipertahankan.

Self-Attention: Lokus Komputasional Konteks (Query, Key, Value)

Inti dari Transformer adalah mekanisme Self-Attention. Ini adalah proses komputasional yang memungkinkan setiap kata dalam sebuah kalimat bisa “melihat” dan menimbang pentingnya semua kata lain dalam kalimat yang sama, sehingga menciptakan representasi yang kaya akan konteks. Proses ini bekerja melalui tiga komponen utama: vektor Query (Q), Key (K), dan Value (V).

Untuk setiap kata dalam input, model mempelajari tiga vektor terpisah. Vektor-vektor ini tidak melekat pada kata itu sendiri, melainkan dihasilkan dengan mengalikan embedding (representasi numerik) kata tersebut dengan tiga matriks bobot terpisah (W_q, W_k, W_v) yang dipelajari selama pelatihan machine learning. Peran ketiganya dapat dipahami melalui beberapa analogi intuitif sebagai berikut:

  • Query (Q): Merepresentasikan apa yang sedang dicari oleh kata saat ini. Ini adalah “pertanyaan” yang diajukan sebuah kata untuk memahami perannya dalam kalimat. Misalnya, kata kerja “mengajar” mungkin mengajukan query untuk mencari tahu “siapa subjeknya?” dan “apa objeknya?”.
  • Key (K): Merepresentasikan “label” atau “penawaran” informasi dari setiap kata dalam kalimat. Ini adalah apa yang ditawarkan oleh sebuah kata sebagai jawaban potensial atas query dari kata lain. Kata “Arief” akan memiliki key yang menandakan “saya adalah subjek potensial”.
  • Value (V): Merepresentasikan informasi atau konten aktual yang dibawa oleh sebuah kata. Setelah relevansi ditentukan, vektor value inilah yang akan diteruskan untuk memperkaya representasi kata yang bertanya.

Prosesnya berjalan sebagai berikut: untuk menentukan konteks sebuah kata, query (Q) dari kata tersebut dibandingkan dengan key (K) dari semua kata lain (termasuk dirinya sendiri) dalam kalimat. Perbandingan ini dilakukan melalui operasi matematika dot product, yang menghasilkan skor mentah (logit) yang menunjukkan seberapa relevan setiap kata lain terhadap kata yang sedang diproses.

Dari Logit ke Probabilitas: Peran Fungsi Softmax

Skor relevansi mentah yang dihasilkan dari dot product kemudian dilewatkan melalui fungsi Softmax. Softmax adalah fungsi normalisasi yang mengubah serangkaian angka mentah menjadi distribusi probabilitas—sekelompok nilai positif yang jika dijumlahkan hasilnya adalah 1. Dalam konteks attention, output Softmax ini berfungsi sebagai “bobot perhatian” (attention weights). Bobot ini kemudian digunakan untuk membuat rata-rata tertimbang dari vektor Value (V) semua kata dalam kalimat tersebut. Hasil akhirnya adalah sebuah vektor baru untuk kata tersebut, yang kini telah diperkaya dengan informasi kontekstual dari keseluruhan kalimat.

Penting untuk ditekankan bahwa seluruh rangkaian proses ini—proyeksi Q, K, V dilakukan melalui perkalian matriks, perhitungan skor melalui dot product, dan normalisasi melalui Softmax—adalah serangkaian operasi matematika yang sepenuhnya deterministik, BUKAN statistik. Untuk input dan parameter model yang sama, hasilnya akan selalu identik. Tidak ada elemen acak atau statistik dalam mekanisme inti untuk menghitung relevansi kontekstual. Dengan demikian, Self-Attention dapat dipandang sebagai mesin deterministik yang dirancang untuk satu tujuan, yaitu: menghitung relevansi kontekstual secara sistematis. Ini bukanlah proses statistik dalam artian acak, melainkan sebuah formalisasi komputasional dari tindakan menentukan relevansi, yang lebih dekat dengan proses logis daripada sekadar probabilitas acak.

Paradoks Probabilitas: Komputasi Deterministik Dengan Ekspresi Probabilistik

Setelah menetapkan bahwa inti pemrosesan konteks dalam Transformer bersifat deterministik, muncul sebuah pertanyaan krusial: bagaimana sistem yang deterministik ini dapat menghasilkan output yang bervariasi, kreatif, dan terkadang tidak dapat diprediksi?

Jawabannya terletak pada pemisahan fungsional antara bagaimana model “memahami” konteks dan bagaimana ia “mengekspresikan” dirinya, sebuah dualitas yang dimediasi oleh fungsi Softmax dan dikendalikan oleh parameter seperti Temperature.

Dualitas Fungsi Softmax

Fungsi Softmax memegang peran ganda yang menjadi kunci untuk memahami paradoks ini.

  • Secara Komputasi Bersifat Deterministik: Seperti yang telah dibahas, Softmax adalah fungsi matematika yang eksak (pasti). Ia menerima sebuah vektor angka (logit) dan, melalui transformasi eksponensial dan normalisasi, menghasilkan vektor lain yang komponennya berada di antara 0 dan 1 serta berjumlah 1. Untuk input yang sama, outputnya akan selalu sama.
  • Secara Interpretasi Bersifat Probabilistik: Meskipun mekanismenya deterministik, output dari Softmax memiliki semua properti dari sebuah distribusi probabilitas. Oleh karena itu, output ini diinterpretasikan sebagai probabilitas—baik oleh peneliti yang menganalisis model maupun oleh komponen lain dalam sistem, seperti fungsi loss cross-entropy selama pelatihan. Interpretasi ini sangat fungsional; ia menjembatani dunia matematika linear yang kaku (yang dapat dioptimalkan melalui gradient descent) dengan kerangka statistik yang diperlukan untuk pengambilan keputusan dalam tugas-tugas seperti prediksi token berikutnya.

Mengendalikan Entropi: Fungsi Temperature sebagai Tombol Kreativitas Digital Mesin Artificial Intelligence

Variabilitas dan “kreativitas” dalam output LLM tidak berasal dari mekanisme inti Self-Attention, melainkan diperkenalkan selama fase generasi teks. Di sinilah parameter seperti Temperature berperan. Temperature adalah variabel yang digunakan untuk memodifikasi distribusi probabilitas yang dihasilkan oleh lapisan Softmax akhir sebelum token berikutnya dipilih.

Terminologi ini diambil dari analogi fisika statistik dan teori informasi. Dalam fisika, suhu mengontrol distribusi energi partikel; suhu tinggi berarti gerakan acak (entropi tinggi), sedangkan suhu rendah berarti keteraturan sistem (entropi rendah). Analogi ini berlaku secara langsung pada LLM:

  • Temperature Rendah (T < 1): Ketika Temperature diatur rendah, distribusi probabilitas menjadi lebih “tajam”. Perbedaan antara token yang paling mungkin dan yang kurang mungkin diperbesar. Model menjadi lebih konservatif dan cenderung memilih token dengan probabilitas tertinggi. Hasilnya adalah output yang lebih dapat diprediksi, konsisten, dan faktual. Pada kasus ekstrem T=0, model akan selalu memilih token yang paling mungkin (argmax), membuat outputnya hampir sepenuhnya deterministik.
  • Temperature Tinggi (T > 1): Ketika Temperature diatur tinggi, distribusi probabilitas menjadi lebih “datar”. Perbedaan antara token probabilitas tinggi dan rendah berkurang. Ini meningkatkan kemungkinan model memilih kata-kata yang kurang umum atau tidak terduga, menghasilkan output yang lebih beragam, acak, dan “kreatif”. Namun, ini juga meningkatkan risiko output menjadi tidak koheren atau tidak relevan.

Pemisahan ini mengarah pada pemahaman yang lebih dalam: arsitektur LLM secara fungsional memisahkan proses “pemahaman” kontekstual dari proses “ekspresi” linguistik. Tahap pertama, yang melibatkan Self-Attention, adalah proses deterministik di mana model menghitung apa yang paling relevan untuk dikatakan dengan menghasilkan serangkaian skor (logit) untuk kandidat token berikutnya. Tahap kedua adalah proses ekspresi, di mana Temperature dan metode sampling lainnya mengontrol bagaimana cara mengatakannya—apakah dengan cara yang konservatif dan dapat diprediksi, atau dengan cara yang lebih kreatif dan bervariasi. Pemisahan inilah yang memungkinkan satu “pemahaman” internal yang deterministik untuk menghasilkan berbagai ekspresi eksternal, sehingga memecahkan paradoks kreativitas (probabilistik) yang deterministik.

Tabel 2: Dualitas Mekanisme Transformer: Komputasi vs. Interpretasi

MekanismeSifat KomputasiInterpretasi Fungsional
Self-Attention (QKV)Deterministik (perkalian matriks, dot product)Proses inferensi untuk menghitung relevansi kontekstual
Fungsi SoftmaxDeterministik (transformasi matematis tetap)Probabilistik (menghasilkan distribusi bobot/keyakinan)
Sampling dengan TemperatureStokastik (variabel kontrol untuk sampling)Pengontrol entropi sistem (keseimbangan kreativitas vs. koherensi)

Semiosis Emergen: Bagaimana Mesin Statistik Memanifestasikan Makna

Dengan pemahaman teknis yang telah dibangun, kita dapat kembali ke tesis sentral: Semiosis Emergen. Debat tentang apakah Transformer menggunakan semiotika menemukan resolusinya dalam konsep ini. Secara eksplisit, Transformer bukanlah mesin semiotik; ia adalah mesin statistik diferensial yang tidak memiliki aturan simbolik, ontologi tanda, atau struktur if-then untuk menghubungkan tanda. Namun, secara implisit, Transformer memanifestasikan proses semiosis melalui statistik pada skala yang luar biasa.

Fenomena ini adalah properti emergen—sebuah sifat yang muncul dari interaksi kompleks komponen-komponen sistem, yang tidak dimiliki oleh komponen-komponen itu sendiri. Makna dalam LLM muncul dari skala data (triliunan token dari korpus global) dan skala model (ratusan miliar hingga triliunan parameter). Ketika kalkulasi deterministik yang berlapis-lapis beroperasi pada distribusi tanda yang masif ini, ia mulai mereplikasi secara fungsional efek dari proses semiosis pada manusia yang kompleks dan relasional. Ini sesuai dengan prinsip-prinsip sibernetika. Apa yang kita, sebagai pengamat, interpretasikan sebagai inferensi Peircean atau hubungan Saussurean bukanlah hasil dari aturan yang diprogram, melainkan efek samping dari model yang telah belajar memprediksi token berikutnya dengan akurasi yang sangat tinggi. Model tidak “memahami” apa itu tanda (sign); ia hanya tahu bagaimana tanda-tanda didistribusikan dalam kaitannya satu sama lain dengan presisi matematis yang sedemikian rupa sehingga ia dapat beroperasi seolah-olah ia memahaminya.

Ini mengarah pada pergeseran fundamental dalam cara kita memahami makna komputasional. AI tradisional mencoba mengkodekan makna dalam simbol dan aturan. LLM, sebaliknya, menemukan bahwa makna terkodekan dalam posisi relatif kata-kata dalam ruang vektor berdimensi tinggi. Embedding merepresentasikan kata sebagai titik (vektor) dalam ruang ini. Mekanisme attention kemudian beroperasi pada vektor-vektor ini, menghitung hubungan berdasarkan kedekatan dan orientasi mereka (diukur melalui dot product). Oleh karena itu, semua “penalaran” dalam model pada dasarnya adalah serangkaian transformasi geometris. Sebuah konsep seperti contohnya “raja” tidak didefinisikan oleh aturan logis (misalnya, dia “adalah seorang penguasa laki-laki”), melainkan oleh posisi vektornya relatif terhadap vektor lain, seperti dalam analogi QKV yg sudah dijelaskan pada beberapa paragraf sebelumnya: vektor(‘raja’) – vektor(‘pria’) + vektor(‘wanita’) \approx vektor(‘ratu’). Dengan demikian, seluruh proses semiotik telah diterjemahkan dari domain logika simbolik ke dalam domain geometri berdimensi tinggi. Semiosis tidak lagi muncul dari logika, tetapi dari geometri tokenize. “Pemahaman” model secara generatif adalah peta yang telah dipelajarinya dari ruang semantik ini.

Lensa Tiga Arah untuk Pikiran Digital: Menerapkan Kerangka Semiotik pada Arsitektur AI

Untuk membedah Semiosis Emergen secara lebih sistematis, kita dapat menerapkan tiga kerangka semiotik utama sebagai lensa analitis. Teori-teori ini bukan merupakan kerangka kerja yang saling bersaing, melainkan saling melengkapi, masing-masing menerangi aspek yang berbeda dari operasi LLM.

Pandangan Saussurean: Signifier dan Signified dalam Ruang Vektor

Menurut Ferdinand de Saussure, tanda adalah entitas dua sisi yang terdiri dari signifier (penanda: bentuk fisik kata) dan signified (petanda: konsep yang diwakilinya). Dalam LLM, proses ini dimodelkan sebagai berikut:

  • Signifier (Penanda Komputasional): Proses tokenisasi dan embedding adalah bentuk komputasional dari signifier. Setiap kata atau sub-kata diubah menjadi vektor numerik unik di ruang laten. Ini adalah bentuk tanda yang dapat diolah oleh mesin.
  • Signified (Petanda Distribusional): Makna atau konsep tidak lagi berupa definisi diskret, melainkan sebuah konsep terdistribusi yang diwakili oleh posisi vektor tersebut di dalam ruang laten. Makna sebuah kata muncul dari pola kemunculan bersamanya dengan kata-kata lain. Kata-kata yang sering muncul dalam konteks yang sama akan memiliki vektor yang letaknya berdekatan, mencerminkan tesis distribusional bahwa “sebuah kata dicirikan oleh teman-temannya”. Dengan demikian, AI statistik menggabungkan signifier dan signified menjadi satu unit operasional (vektor), di mana makna didefinisikan oleh hubungan relasionalnya dengan semua vektor lain, persis seperti yang diusulkan Saussure tentang nilai linguistik yang ditentukan oleh perbedaan.

Proses Peircean: Self-Attention sebagai Model Inferensi Dinamis

Charles Sanders Peirce mendefinisikan semiosis sebagai proses triadik dinamis yang melibatkan representamen (tanda itu sendiri), object (apa yang direpresentasikan oleh tanda), dan interpretant (efek penafsiran atau pemahaman yang dihasilkan). Mekanisme Self-Attention dalam Transformer adalah analogi komputasional yang sangat kuat untuk proses inferensi triadik Peircean ini.

  • Representamen: Vektor token awal yang sedang diproses, yang mengajukan Query untuk mencari makna kontekstual.
  • Object: Token-token lain dalam kalimat yang berfungsi sebagai konteks. Vektor Key dan Value mereka mewakili aspek-aspek dari objek-objek ini.
  • Interpretant: Vektor output akhir yang telah diperkaya dengan konteks, yang dihasilkan oleh mekanisme attention. Seluruh proses perhitungan bobot perhatian dan pembentukan rata-rata tertimbang dari Value adalah perwujudan komputasional dari proses dinamis pembentukan interpretant. Ketika mekanisme attention memberikan bobot yang lebih tinggi pada kata “uang” daripada “tepi sungai” dalam menafsirkan kata “bank”, ini adalah bentuk interpretant yang ditentukan secara deterministik oleh probabilitas distribusi yang telah dipelajari.

Lapisan Barthesian: Mengungkap Konotasi dan Mitos dalam Data Pelatihan

Roland Barthes memperluas semiotika dengan menambahkan lapisan makna kultural dan ideologis. Tanda tidak hanya memiliki denotasi (makna literal) tetapi juga konotasi (makna kultural, ideologis, atau historis yang melekat). Dalam LLM, lapisan Barthesian ini muncul dari data pelatihan itu sendiri.

  • Denotasi: Makna literal atau prediksi token yang paling mungkin secara statistik. Ini adalah tingkat pertama dari makna yang dihasilkan model.
  • Konotasi: Bias dan narasi yang tertanam secara statistik dalam korpus data pelatihan. Data yang diambil dari internet dan literatur global secara inheren membawa bias gender, stereotip rasial, atau narasi politik yang dominan. Misalnya, jika data pelatihan secara statistik lebih sering mengasosiasikan “dokter” dengan pronomina maskulin dan “perawat” dengan pronomina feminin, model akan mempelajari korelasi ini sebagai bagian dari “makna” kata-kata tersebut. Output model kemudian akan mereproduksi konotasi ideologis ini, bukan karena aturan yang disengaja, tetapi sebagai cerminan statistik dari “mitos” budaya yang terkandung dalam datanya.

Dengan demikian, ketiga kerangka semiotik ini tidak saling meniadakan, melainkan memberikan pandangan berlapis yang komprehensif. Semiotika Saussurean menjelaskan struktur statis dari pengetahuan yang dipelajari (peta semantik dalam ruang embedding). Semiotika Peircean menjelaskan proses dinamis inferensi pada saat runtime (mekanisme attention). Dan semiotika Barthesian menjelaskan asal-usul sosio-kultural dan dampak dari basis pengetahuan sistem (data pelatihan dan outputnya).

Tabel 3: Pemetaan Teori Semiotik pada Arsitektur Transformer

Konsep SemiotikTeorisAnalogi Arsitektur AIDeskripsi
Signifier / SignifiedSaussureToken & Vektor Embedding / Posisi Relasional VektorBentuk tanda adalah vektor numerik; maknanya adalah posisi terdistribusi dalam ruang semantik yang ditentukan oleh relasi.
RepresentamenPeirceVektor QueryTanda awal yang memulai proses inferensi untuk mencari makna kontekstual.
ObjectPeirceKonteks (Vektor Key & Value)Entitas lain dalam urutan yang memberikan informasi kontekstual kepada representamen.
InterpretantPeirceVektor Output dari AttentionHasil akhir dari proses inferensi; representasi tanda yang telah diperkaya dengan makna kontekstual.
Denotasi / KonotasiBarthesOutput Paling Mungkin / Bias Statistik dari DataMakna literal vs. lapisan makna kultural, ideologis, dan bias yang dipelajari dari pola distribusi dalam data pelatihan.

Ruang Gema Ideologis: Mengaudit Bias dan Konotasi Kultural dalam LLM

Analisis Barthesian membawa kita pada konsekuensi etis dan praktis yang paling mendesak dari AI modern. Karena LLM belajar dari pola statistik teks yang dihasilkan manusia, mereka secara tak terhindarkan berfungsi sebagai “mesin ideologi” atau ruang gema yang kuat. Secara sibernetis mereka menyerap, mereplikasi, dan memperkuat bias, stereotip, serta narasi dominan yang ada dalam data pelatihan mereka. Ini sesuai dengan prinsip-prinsip umpan balik dalam teori sibernetika.

Implikasi ini sangat nyata. Sebuah LLM dapat menunjukkan bias regional dalam klasifikasi teks politik jika data pelatihannya didominasi oleh satu ideologi tertentu. Demikian pula, asumsi tentang peran gender atau stereotip rasial dapat termanifestasi karena pola-pola tersebut ada secara statistik dalam data historis. Makna kultural yang dihasilkan LLM bukanlah keputusan yang disengaja, melainkan hasil dari perhitungan deterministik yang menyerap konotasi probabilistik dari data yang diberikan kepadanya.

Masalah ini diperparah oleh sifat “kotak hitam” dari AI statistik. Kurangnya transparansi membuat pelacakan sumber bias menjadi tantangan besar. Sangat sulit untuk mengetahui entri data spesifik mana yang menyebabkan model menghasilkan konotasi ideologis tertentu. Semiotika Barthesian menyediakan kerangka kerja yang diperlukan untuk mengkritik output AI bukan dari sudut pandang akurasi matematis, tetapi dari sudut pandang konsekuensi kultural.

Hal ini mendorong pengembangan solusi teknis untuk membuka “kotak hitam” tersebut. Salah satu pendekatan yang menjanjikan adalah Training Data Attribution (TDA), yang bertujuan untuk melacak pengetahuan atau output tertentu dari LLM kembali ke contoh data pelatihan spesifik yang menyebabkannya. Dalam konteks semiotika, TDA adalah upaya untuk mengaudit konotasi Barthesian secara komputasional, mencoba memahami bagaimana ideologi tersembunyi terbentuk dari entri data yang mana, sehingga memungkinkan audit etis yang lebih baik.

Pemahaman ini juga mengubah cara kita memandang masalah bias. Dalam sistem berbasis aturan, bias dapat dilihat sebagai “bug” atau “error”—sebuah aturan yang salah yang dapat diperbaiki. Namun, dalam sistem statistik, bias sering kali merupakan hasil dari model yang berhasil mempelajari pola-pola yang tidak diinginkan dalam data. Model tersebut menjalankan fungsinya dengan benar dengan mengidentifikasi dan mereproduksi pola-pola tersebut karena itulah cara untuk meminimalkan kesalahan prediksi berdasarkan data yang ada. Ini membingkai ulang masalah dari sekadar “memperbaiki model” menjadi tantangan sosio-teknis yang jauh lebih kompleks, yaitu mengkurasi data, mengelola output, dan secara kritis mengevaluasi cerminan masyarakat yang ditunjukkan oleh mesin-mesin ini.

Epilog: Menuju Kognisi Hibrida Artificial Intelligence dan Masa Depan Makna

Debat filosofis antara AI simbolik dan statistik telah mencapai puncaknya dengan dominasi komputasi statistik yang diwujudkan oleh arsitektur Transformer. Namun, dominasi ini tidak menghilangkan relevansi kerangka kerja simbolik. Sebaliknya, ia justru memperkuat kebutuhan akan semiotika sebagai alat interpretatif dan auditif yang sangat diperlukan.

Kesimpulannya, AI modern bukanlah mesin yang memahami tanda melalui aturan eksplisit yang diturunkan secara deduktif. Sebaliknya, ia adalah mesin yang mengalkulasi pola-pola tanda secara deterministik pada skala masif, yang kemudian menghasilkan efek semiosis yang kompleks, dinamis, dan probabilistik dalam ekspresinya. Pandangan “statistik murni”, seperti statemen yang disampaikan oleh rekan diskusi sebelumnya, tidak memadai karena mengabaikan efek terstruktur dan bermakna yang mendalam dari komputasi ini.

Mungkin masa depan AI terletak pada integrasi. Arsitektur hibrida neuro-simbolik menawarkan jalan ke depan yang menjanjikan. Dalam model seperti itu, mesin statistik seperti Transformer dapat berfungsi sebagai pemroses makna kontekstual yang sangat fleksibel, sementara lapisan logika simbolik (aturan, ontologi) digunakan sebagai filter, pengaman, atau kerangka penalaran di atasnya. Pendekatan ini berpotensi menggabungkan fleksibilitas statistik dengan transparansi dan kontrol simbolik, menciptakan AI yang sangat mampu secara interpretatif sekaligus dapat diaudit.

Pada akhirnya, memahami kecerdasan buatan modern memerlukan lebih dari sekadar pemahaman matematika tentang Transformer, Softmax, dan Temperature. Hal ini menuntut ilmu Semiotika untuk membedah bias Barthesian, melacak proses inferensi Peircean, dan memahami representasi Saussurean yang tersimpan dalam ruang vektor. Kecerdasan Buatan adalah cermin matematis yang kuat, yang tidak hanya mereplikasi bahasa kita, tetapi juga secara tak terhindarkan memantulkan budaya, ideologi, dan cara kita memaknai dunia. Dalam mempelajari mesin-mesin ini, kita tidak hanya mempelajari sebuah teknologi eksternal; kita sedang mempelajari cerminan matematis dari kesadaran kolektif kita sendiri dalam berbahasa atau berkomunikasi yang ditransformasikan pada mesin dengan prinsip-prinsip sibernetika.

Pertentangan antara “simbolik” dan “statistik” bukanlah bipolar ideologis yang harus dimenangkan salah satu pihak. Transformer berada di posisi teknis tertentu: ia bukan mesin semiotik yang menyimpan teori tanda, tetapi ia memproduksi efek semiotik melalui kalkulasi deterministik atas pola statistik besar. Menempatkan semiotika sebagai lensa kritis bukan klaim bahwa model “memahami” tanda; melainkan pengakuan bahwa teknologi ini menghasilkan dampak makna yang perlu dibaca, diuji, dan diatur.

Kalimat penutup: Transformer tidak menulis semiotik ke dalam kodenya, tetapi ia menulis efek semiotik ke dalam teksnya. Membaca efek tersebut membutuhkan teknik dan teori sekaligus: sains data yang tajam dan mata kritis humaniora serta prinsip-prinsip sibernetika.

AO

Tangerang Selatan, 25 Oktober 2025

Tulisan sebelumnya:
https://socioinformatics.id/semiotika-sebagai-teori-kognitif-tersembunyi-di-balik-kemajuan-ai/

Semiotika Sebagai Teori Kognitif Tersembunyi di Balik Kemajuan AI

Arief Prihantoro

Artikel ini mencoba menjelaskan

dari perspektif semiotika,

bagaimana sebuah mesin AI

mampu “memahami” makna

dalam interaksinya

dengan manusia sebagai pengguna.

Pondasi teoretis Kecerdasan Buatan (AI) modern, dari era simbolik hingga model generatif transformatif, secara fundamental berakar pada tiga tradisi semiotika utama:
1. Diadik (Ferdinand de Saussure),
2. Triadik (Charles S. Peirce),
3. Kultural (Roland Barthes).

Tulisan ini mengajukan tesis bahwa ketiga model ini tidak saling bertentangan, melainkan saling melengkapi, menyediakan kerangka kerja holistik untuk memahami bagaimana mesin memroses dan “memahami” makna.

Tesis dalam tulisan ini mengintegrasikan wawasan dari tesisnya Kumiko Tanaka-Ishii mengenai refleksivitas dalam sistem pemrograman dengan pemikiran Ricardo Maciel Gazoni tentang ketidakjelasan (vagueness) dan “pemrograman dialogis” yang terinspirasi oleh Peirce. Analisis dalam tesis ini menunjukkan bahwa kemajuan AI berikutnya akan sangat bergantung pada pemahaman yang lebih disengaja dan penerapan prinsip-prinsip semiotik yang bernuansa dialogis.

Menafsirkan Tanda dalam Era Algoritma

Ketika sebuah Model Bahasa Besar (LLM) seperti ChatGPT atau Gemini menjawab pertanyaan, proses apa yang sebenarnya terjadi di balik layar? Apakah ia benar-benar memahami makna, ataukah hanya mengolah pola-pola statistik dalam data?

Pertanyaan ini, yang mendasari perdebatan filosofis tentang kecerdasan buatan, dapat diuraikan secara lebih terang melalui lensa semiotika—ilmu tentang tanda dan makna. Artikel ini membangun argumen bahwa proses yang terjadi bukanlah sihir teknologi, melainkan sebuah proses semiotik yang kompleks dan berlapis melalui mekanisme proses sibernetika.
Setiap terobosan dalam AI, dari sistem pakar paling awal hingga arsitektur Transformer yang kini mendominasi, secara tak terhindarkan mencerminkan satu atau lebih tradisi semiotika yang telah berkembang selama lebih dari satu abad.
Tesis sentral dari tulisan ini adalah bahwa evolusi AI secara historis dan arsitektural dapat dipetakan langsung ke tiga tradisi semiotik utama:
1. Semiotika Saussurean menyediakan kerangka struktural untuk representasi makna,
2. Semiotika Peircean menyediakan mesin dinamis untuk inferensi dan pemahaman kontekstual,
3. Semiotika Barthesian menyediakan lensa untuk menyingkap lapisan makna kultural dan ideologis.

Bersama-sama, mereka membentuk tulang punggung teoritis dari apa yang kita sebut “kecerdasan” buatan. Artikel ini merupakan sintesis naratif yang dibangun dari logika kultural Semiotika sebagai tulang punggung AI dan diperdalam dengan karya-karya spesifik dari Kumiko Tanaka-Ishii (Semiotics of Programming) dan Ricardo Maciel Gazoni (A Semiotic Analysis of Programming Languages). Melalui pendekatan ini, penulis akan menunjukkan secara argumentatif bahwa semiotika bukan sekadar analogi yang menarik, melainkan teori kognitif yang tersembunyi di balik keberhasilan AI modern.

Makna Sebagai Struktur – Tradisi Diadik Ferdinand de Saussure dan AI Simbolik

Teori Saussure dan Landasan Makna Diferensial

Ferdinand de Saussure, yang dianggap sebagai bapak linguistik modern, memperkenalkan model semiotika diadik yang melihat tanda sebagai kesatuan dua sisi:
1. Signifier (penanda)
2. Signified (petanda).

Penanda adalah wujud fisik dari tanda—misalnya, serangkaian huruf p-o-h-o-n atau sebuah gambar pohon. Sementara itu, petanda adalah konsep atau ide yang dihadirkan oleh wujud fisik tersebut—konsep mental kita tentang pohon.

Namun, makna, menurut Saussure, tidak muncul karena tautan alami antara penanda dan petanda, melainkan dari hubungan diferensial dan oposisi antar-tanda di dalam sebuah sistem yang tertutup, yaitu bahasa (langue) dan cara setiap individu berbahasa dalam sebuah komunikasi (Parole).

Sebuah kata bermakna bukan karena ia memiliki esensi yang inheren, melainkan karena ia tidak sama dengan kata-kata lain. Misalnya, kata pohon bermakna pohon bukan karena kemiripannya dengan pohon fisik di dunia, melainkan karena ia berbeda dari batu, air, kayu, dan seterusnya. Model Saussurean ini menekankan struktur statis dari sebuah sistem tanda, dimana makna diatur dan didefinisikan secara internal.

Manifestasi Saussurean dalam Arsitektur AI

Kerangka struktural Saussurean ini secara langsung diimplementasikan dalam era awal AI, yang dikenal sebagai AI simbolik. Dalam sistem pakar, misalnya, simbol-simbol (IF-THEN) berfungsi sebagai penanda, yang secara eksplisit dipetakan ke konsep-konsep tertentu (petanda) seperti demam atau penyakit A. Seluruh basis pengetahuan dibangun sebagai sebuah struktur statis dimana makna telah didefinisikan secara manual dan eksplisit oleh perancang sistem (programmer dan arsitek program). Pendekatan ini adalah manifestasi langsung dari gagasan Saussure bahwa makna adalah hasil dari sebuah sistem yang tertutup dan terdefinisi.

Lebih jauh, ide Saussure beresonansi bahkan dalam AI modern yang berbasis data. Model-model representasi distribusional, seperti Word2Vec atau GloVe, menciptakan vektor kata dimana makna sebuah kata (petanda) adalah fungsi dari posisinya yang relatif (penanda) terhadap semua kata lain dalam ruang vektor berdimensi tinggi. Vektor untuk kata raja akan berada di dekat vektor untuk kata laki-laki dan jauh dari vektor untuk kata ratu. Saussureanisme tentang “makna yang muncul dari perbedaan” kini diaktualisasikan dalam topologi ruang geometris pemrograman berbasis Deep Learning.

Analisis mendalam menunjukkan bahwa semiotika Saussurean menyediakan cetak biru teoretis untuk AI simbolik. Tanpa sebuah teori yang menjelaskan bagaimana simbol abstrak (seperti kata atau operator logis) dapat merepresentasikan konsep, maka bidang AI simbolik mungkin tidak akan bisa mengembangkan pendekatan terstrukturnya terhadap representasi pengetahuan. Hubungan ini bersifat langsung dan kausal.

Dalam paket-paket bahasa pemrograman Python, ataupun Bahasa pemrograman lain, yang bersifat modular dan paling banyak dipakai dalam membangun sistem AI, memberikan sebuah analogi yang kuat: dalam bentuk kode, identifier (misalnya, nama variabel) adalah contoh penanda yang berhubungan dengan data type (konsep mentalnya) sebagai petanda. Analogi sederhana ini menjelaskan mengapa model Saussurean, meskipun rigid, sangat penting untuk membangun sistem yang andal. Kekakuan yang inheren ini adalah sebuah fitur, bukan kekurangan, yang menjamin readability dan type safety dalam pemrograman. Peta struktural yang statis ini harus ada terlebih dahulu sebelum proses dinamis (semiosis) dapat dimulai.

Makna Sebagai Proses – Semiotika Triadik Charles S. Peirce dan Mesin yang Berpikir Pragmatis

Teori Peirce dan Semiosis Dinamis

Berbeda dengan model statis Saussure, Charles S. Peirce merumuskan model triadik yang melampaui pandangan biner Saussurean. Dalam pandangan Peirce, sebuah tanda terdiri dari tiga elemen:
1. Representamen (wujud fisik tanda),
2. Object (apa yang dirujuk oleh tanda),
3. Interpretant (efek atau pemahaman yang dihasilkan dalam pikiran).

Representamen adalah wujud fisik, object adalah sesuatu yang dirujuk oleh tanda, dan interpretant adalah efek yang dihasilkan tanda tersebut dalam pikiran, yang memicu sebuah proses berantai. Proses berantai ini jika diimplementasikan dalam konsep arsitektur bahasa pemrograman komputer mewujud dalam struktur pemrograman rekursif.

Bagi Peirce, makna bukanlah entitas statis, melainkan sebuah proses inferensial yang dinamis dan berkesinambungan yang ia sebut semiosis. Setiap interpretant dapat menjadi representamen baru yang memicu interpretant berikutnya, menciptakan sebuah rantai penafsiran yang tak pernah berakhir. Ini adalah model yang sangat pragmatis, berfokus pada fungsi tanda dalam konteks, bukan sekedar posisinya dalam sebuah struktur pemrograman. Hal ini mengingatkan pada gagasan sibernetikanya Norbert Wiener pada tahun 1948, hingga dia disebut sebagai bapak Sibernetika.

Dalam perkembangan keilmuan berikutnya terkait teknologi mesin cerdas, Sibernetika disebut-sebut sebagai induk dari teknologi Kecerdasan Buatan dan Robotika (AI modern), yang berbasis pada model matematis Neural Network-nya McCulloch dan Walter Pitts, pada tahun 1943, sebelum sibernetika diperkenalkan oleh Wiener.

Integrasi dengan AI Modern dan Rujukan Khusus

Model triadik Peirce adalah inti kognitif di balik AI modern. Arsitektur Transformer, yang menjadi tulang punggung model bahasa generatif saat ini, secara fundamental mereplikasi semiosis Peircean. Mekanisme attention dalam proses training model Artificial Intelligence dapat diurai ke dalam triad Peirce sebagai berikut :
Representamen: Token-token individual dalam sebuah kalimat.
Object: Konteks kalimat atau dokumen di mana token itu muncul.
Interpretant: Representasi kontekstual baru yang dihasilkan oleh modul attention, yang kini dapat ‘memahami’ makna token berdasarkan interaksinya dengan token lain.

Proses ini sangat Peircean. Setiap lapisan Transformer menafsirkan ulang representasi (menghasilkan interpretant baru) berdasarkan konteks baru, menciptakan sebuah rantai semiosis yang mendalam. Proses tersebut bukan sekadar analogi, ini adalah operasionalisasi komputasional dari gagasan filosofis Peirce. Semiotika Peircean menyediakan model teoretis untuk pemahaman kontekstual, yang merupakan fondasi dari arsitektur Transformer.

Kontribusi dari Ricardo Maciel Gazoni dan Kumiko Tanaka-Ishii secara spesifik menjelaskan tantangan Peircean di era AI modern. Ricardo Maciel Gazoni, dalam analisisnya tentang bahasa pemrograman, berpendapat bahwa ketidakjelasan (vagueness) adalah fitur esensial dari bahasa alami yang absen dalam bahasa pemrograman tradisional. Keterbatasan ini adalah problem Peircean murni—sebuah tanda (perintah) tidak dapat memicu interpretant yang non-deterministik. Gazoni mengusulkan solusi berupa “pemrograman dialogis,” di mana mesin merespons perintah ambigu dengan mengajukan pertanyaan atau membuat tebakan yang aman, mengubah interaksi menjadi sebuah rantai umpan balik semiosis yang kolaboratif, bukan perintah yang kaku, yang pada dasarnya adalah sebuah proses sibernetis, yaitu proses umpan balik yang bersifat analitis dan berulang.

Sementara itu, Kumiko Tanaka-Ishii membahas kontribusi krusial tentang refleksivitas (reflexivity), yang ia definisikan sebagai “kemampuan sebuah sistem atau fungsi untuk menafsirkan ulang apa yang telah dihasilkannya sendiri”. Dan lagi-lagi proses tersebut pada dasarnya adalah sebuah proses sibernetis, mengacu pada prinsip-prinsip sibernetika orde kedua. Ini adalah puncak dari semiosis Peircean. Tanpa kemampuan untuk merefleksikan dan mengoreksi diri, rantai semiosis AI akan terbatas dan statis. Tanaka-Ishii berargumen bahwa keterbatasan AI saat ini dapat diatribusikan pada kurangnya refleksivitas. Misalnya, fenomena “halusinasi” pada LLM, dimana model menghasilkan informasi yang salah dengan fasih, dapat dipahami sebagai kegagalan dalam proses refleksi internal untuk memvalidasi interpretant yang dihasilkannya.

Tesis Gazoni dan Tanaka-Ishii, ketika digabungkan, menawarkan sebuah visi yang kuat untuk masa depan interaksi manusia-komputer. Hal tersebut mengisyaratkan pergeseran paradigma dari skema perintah-patuh (command-obey) menjadi proses dialogis dan kolaboratif sebagaimana proses sibernetis berlangsung. Proses tersebut mengubah masalah AI dari sekadar tantangan teknis menjadi masalah semiotik yang fundamental—yaitu, bagaimana membuat interaksi mesin menjadi lebih mirip manusia.

Makna Sebagai Mitos – Semiotika Kultural Roland Barthes dan AI yang Memahami Konteks Sosial

Teori Barthes dan Lapisan Makna Kultural


Roland Barthes memperluas semiotika dari ranah struktural dan pragmatis ke ranah kultural dan ideologis. Dalam karyanya, Barthes membedakan makna pada dua tingkat: makna denotatif (literal atau harfiah) dan makna konotatif (asosiatif, kultural, atau ideologis). Menurutnya, setiap teks, gambar, atau praktik budaya memuat mitos—sebuah sistem tanda tingkat kedua yang menanamkan nilai-nilai sosial dan politik ke dalam makna denotatif. Pendekatan ini menyoroti bagaimana konteks budaya, wacana dominan, dan asumsi tak terlihat, ikut membentuk makna yang kita terima dan sebarkan.

Aplikasi Barthesian dalam AI

Awalnya, AI hanya mampu memproses makna denotatif. Sistem AI hanya mengenali kata-kata sebagai simbol dengan arti yang eksplisit. Namun, dengan munculnya model yang dilatih pada korpus data yang sangat besar, AI kini dapat melangkah lebih jauh. Melalui proses fine-tuning dan teknik-teknik seperti analisis sentimen, deteksi bias, dan ekstraksi opini, model AI dapat mengenali dan mengklasifikasikan nada, gaya, dan muatan emosional suatu teks yang seolah memahami sentimen. Praksis tersebut adalah pengenalan terhadap makna konotatif.

Lebih jauh, kemampuan model untuk mengidentifikasi bias yang tertanam dalam data (misalnya, bias gender, politik, atau stereotip) merupakan manifestasi modern dari “mitos” Barthesian. Mesin tidak hanya membaca kata-kata, ia juga “membaca” asumsi budaya yang tak terlihat yang membentuk makna di baliknya. Kemampuan AI untuk memahami “mitos” ini memiliki implikasi sosial dan etika yang signifikan. Jika AI dapat mendeteksi bias dalam data pelatihannya, ia juga dapat digunakan untuk memperkuat atau menyebarkan bias tersebut. Oleh karena itu, lensa pemikiran Barthesian sangat penting untuk etika AI dan AI yang bertanggung jawab yang “mampu memahami” norma sosial, karena mengalihkan tanggung jawab dari sekadar membangun model menjadi mengkurasi mitologi kultural yang diajarkan kepadanya.

Sintesis dan Wawasan Holistik: Menuju Kecerdasan Buatan Semiotik yang Holistik

Tidak ada satu model semiotik yang mutlak menampung segala fenomena tanda. Analisis ini telah menunjukkan bahwa tiga tradisi semiotika tidak saling bertentangan, melainkan bersifat komplementer. Mereka adalah tiga cara untuk melihat fenomena yang sama:
1. Makna sebagai struktur diferensial (Saussurean),
2. Makna sebagai proses interpretatif (Peircean), dan
3. Makna sebagai lapisan kultural (Barthesian).

Ketiganya membentuk sebuah kerangka kerja yang holistik untuk memahami AI. Sebuah model AI terlebih dahulu memahami hubungan struktural tanda (vektor Saussurean), kemudian menggunakan proses dinamis untuk mengontekstualisasinya (mekanisme perhatian Peircean), dan akhirnya mempelajari mitologi kultural yang merupakan lapisan tingkat kedua di atas tanda-tanda yang sudah dikontekstualisasikan tersebut (fine-tuning Barthesian).

Tabel berikut memberikan visualisasi yang jelas dan ringkas dari argumentasi sentral ini, memetakan konsep filosofis ke komponen teknis AI yang konkret.

Tradisi SemiotikaAspek KognitifManifestasi dalam AIPeran dalam Arsitektur
Ferdinand de SaussureMakna sebagai Struktur DiferensialAI Simbolik, Word EmbeddingsMenyediakan peta struktural statis dari makna, memastikan readability dan type safety.
Charles S. PeirceMakna sebagai Proses Inferensial (Semiosis)Arsitektur Transformer (attention), Eager ExecutionMenghidupkan inferensi kontekstual, memungkinkan pemahaman dinamis, dan mereplikasi proses berpikir pragmatis.
Roland BarthesMakna sebagai Konotasi Kultural (Mitos)Sentiment Analysis, Deteksi Bias, Fine-tuningMenyediakan lensa untuk mengenali lapisan makna tingkat kedua, seperti nada dan muatan ideologis, yang penting untuk AI yang bertanggung jawab.



Tabel kedua secara lebih rinci menguraikan bagaimana triad Peircean diwujudkan dalam model bahasa modern:

Elemen Triad PeirceDeskripsi dalam TeoriOperasionalisasi dalam LLM (Transformer)
RepresentamenWujud fisik tanda; yang ada di depan mata.Token dalam kalimat (misalnya, bank dalam frasa “Saya mau ke bank”).
ObjectApa yang dirujuk oleh tanda.Konteks kalimat, yaitu token-token lain yang relevan (Saya, mau, ke).
InterpretantPemahaman yang muncul, efek tanda.Representasi vektor kontekstual yang diperbarui, yang kini ‘memahami’ apakah bank merujuk ke institusi finansial atau tepian sungai.


Terakhir, tabel berikut menyoroti visi dari Tanaka-Ishii dan Gazoni, menempatkan mereka sebagai visioner yang melihat tantangan semiotik di masa depan AI:

PenelitiGagasan KunciImplikasi untuk Masa Depan AI
Ricardo Maciel GazoniKetidakjelasan (Vagueness), Pemrograman DialogisMengubah paradigma interaksi dari skema perintah-patuh ke dialogis dan kolaboratif.
Kumiko Tanaka-IshiiRefleksivitas (Reflexivity), Self-CorrectionMengatasi keterbatasan seperti halusinasi dan kegagalan penalaran tingkat tinggi, memungkinkan mesin untuk merefleksikan dan mengoreksi diri.


Penutup – Masa Depan AI adalah Masa Depan Semiosis

Dari berbagai bangunan argumen sebelumnya bisa dikonklusikan bahwa semiotika bukan hanya alat analisis, melainkan teori kognitif yang fundamental di balik Kecerdasan Buatan. Saussure memberikan fondasi struktural yang diperlukan untuk merepresentasikan pengetahuan dan makna. Peirce menghidupkan representasi ini dengan proses dinamis semiosis, memungkinkan pemahaman kontekstual yang merupakan kunci bagi arsitektur generatif modern. Barthes menambahkan dimensi kultural yang krusial, memungkinkan mesin untuk “membaca” bukan hanya kata-kata, tetapi juga mitos dan nilai-nilai yang tertanam di dalamnya.

Kemajuan AI berikutnya tidak akan datang dari peningkatan daya komputasi semata, melainkan dari pengakuan dan pemanfaatan yang lebih disengaja terhadap prinsip-prinsip semiotik. Tantangan utama saat ini—seperti ketidakmampuan untuk menangani ketidakjelasan (seperti yang dianalisis oleh Gazoni) dan kurangnya refleksivitas (seperti yang ditegaskan oleh Tanaka-Ishii)—bukanlah masalah komputasi, melainkan masalah semiotik yang mendalam. Kecerdasan buatan masa depan akan menjadi semiotik yang lebih maju, mampu berpartisipasi dalam semiosis manusia secara lebih penuh, dengan pemahaman yang dinamis dan kemampuan untuk merefleksikan diri. Dengan demikian, bahasa, sebagai sistem tanda yang paling kompleks, terus menjadi cermin bagi pemahaman kita tentang pikiran—baik pada manusia maupun mesin.

Kini kita hidup di era Sibernetika orde kedua. Dan kita adalah organisme sibernetis. AI sebagai mesin cerdas tiruan yang bekerja lewat mekanisme proses sibernetis tak akan pernah ada tanpa semiotika, karena semiotika menjadi salah satu tulang punggung kecerdasaan buatan.

A semiotic analysis of programming languages
https://shorturl.at/8vK3O

Semiotics of programming
View article

‘Otak Holografik’, Misteri Engram dan Revolusi Pandangan Terhadap Otak

Arief Prihantoro

Misteri Engram dan Revolusi Pandangan Terhadap Otak

Selama puluhan tahun, ilmu saraf berusaha menjawab salah satu pertanyaan terbesar mengenai fungsi kognitif manusia: Bagaimana tepatnya ingatan (memori) disimpan di dalam otak?

Pandangan tradisional dalam neurosains yang berpegang pada model lokalisasi, dimana memori spesifik, atau yang disebut “engram,” dianggap tersimpan dalam struktur tertentu, seperti sekelompok neuron atau sinaps yang diperkuat, di lokasi yang dilindungi.

Struktur-struktur seperti hipokampus, neokorteks, dan amigdala memang diakui memainkan peran penting dalam memproses dan mengonsolidasikan memori eksplisit (fakta dan peristiwa) dan implisit (motorik). Misalnya, memori jangka pendek dan memori kerja sangat bergantung pada korteks prefrontal, sementara memori implisit berlabuh di basal ganglia dan cerebellum. Namun, model yang berpusat pada lokasi tunggal ini sering kali gagal menjelaskan fenomena ketangguhan memori yang luar biasa, di mana seseorang dapat mempertahankan ingatan kompleksnya bahkan setelah mengalami cedera otak traumatis atau kehilangan sebagian besar jaringan otak. Ketidakmampuan model tradisional untuk menjelaskan ketahanan ini mendorong munculnya dugaan mekanisme penyimpanan dengan model terdistribusi dan non-lokal.

Revolusi pandangan ini datang melalui Teori Otak Holonomik ( Holonomic Brain Theory ), yang dikembangkan oleh ahli saraf terkemuka Karl Pribram. Teori ini menyajikan model yang radikal: otak mungkin bekerja mirip dengan hologram.

Berdasarkan penemuan holografi oleh Dennis Gabor dan ide fisika David Bohm, Pribram memiliki pemahaman bahwa memori tidak tersimpan dalam titik-titik spesifik melainkan dalam pola gelombang yang tersebar di seluruh jaringan otak. Teori ini menawarkan janji untuk menjelaskan dua aspek mendasar kesadaran manusia: penyimpanan memori yang non-lokal dan kemampuan memori asosiatif yang sangat cepat, di mana satu sinyal kecil dapat memanggil kembali seluruh pengalaman kompleks.

Karl Lashley dan Kebutuhan Akan Model Baru

Yang ditemukan Lashley adalah hal yang sangat berlawanan dengan harapannya. Dia tidak dapat menemukan satu pun lokasi pusat yang, ketika dilakukan penghapusan sebagian memori, akan menghapus memori spesifik labirin tersebut. Alih-alih menghapus memori, yang terjadi adalah penurunan secara progresif dalam kemampuan tikus untuk menavigasi, sebanding dengan seberapa banyak jaringan otak secara keseluruhan yang telah dihilangkan. Kegagalan ini menunjukkan bahwa memori tidak tersimpan secara terlokalisasi dalam satu titik, tetapi pasti tersebar atau terdistribusi di berbagai area korteks.

Hasil penelitian Lashley menghasilkan dua prinsip penting: Ekuipotensialitas dan Hukum Aksi Massa. Prinsip Ekuipotensialitas menyatakan bahwa jika satu area otak rusak, area lain terkadang dapat mengambil alih peran fungsi yang rusak tersebut. Ini menunjukkan plastisitas dan kemampuan adaptif korteks serebral yang luas untuk memediasi fungsi belajar dan memori spesifik.

Sementara itu, Hukum Aksi Massa (Law of Mass Action) menyatakan bahwa efisiensi fungsi kompleks, seperti memori, berkurang sebanding dengan jumlah total kerusakan yang dialami otak secara keseluruhan, bukan karena kerusakan pada area tertentu. Dengan kata lain, seluruh korteks serebral bertindak sebagai satu kesatuan dalam banyak jenis pembelajaran. Keterkaitan antara Hukum Aksi Massa Lashley dengan prinsip holografi adalah penemuan teori yang kuat. Ketika sebuah pelat hologram dipecah menjadi fragment-fragmen, setiap pecahan masih mampu merekonstruksi seluruh gambar aslinya. Namun resolusi atau ketajaman gambar yang direkonstruksi dari pecahan-pecahan tersebut akan berkurang dibandingkan dengan gambar yang direkonstruksi dari keseluruhan pelat. Andai sebuah pelat hologram dipecah menjadi 10 maka masing-masing potongan pelat tersebut saat disinari oleh laser akan mampu menampilkan gambar utuh seperti saat pelat besarnya belum dipotong menjadi 10. Artinya kini ada 10 potongan pelat yg berisi gambar/data optik yang sama persis dengan gambar optik sebelum pelat dipotong menjadi 10. Ketika pelat dipotong menjadi 100 maka akan menghasilkan 100 pelat dengan gambar yang sama. Jika dipotong menjadi 1000 pelat maka akan menghasilkan 1000 gambar yang sama, dan seterusnya, namun resolusinya saja yg berkurang.

Korelasi ini menjadi pembenaran yang krusial bagi Pribram: jika memori terdistribusi (Ekuipotensialitas), dan kerusakannya hanya mengurangi resolusi (Hukum Aksi Massa), maka mekanisme pengkodean harus bersifat relasional dan tersebar, bukan absolut dan terlokalisasi. Model holografik memenuhi persyaratan ini secara sempurna, memberikan solusi teoritis yang sangat dibutuhkan untuk masalah empiris Lashley.

Hologram sebagai Gudang Informasi Relasional

Teori Otak Holonomik mendapatkan kekuatannya dari prinsip-prinsip fisika holografi, yang ditemukan oleh peraih Nobel Dennis Gabor.

Hologram sangat berbeda dari fotografi biasa. Foto tradisional menyimpan titik data analog (warna, cahaya) di lokasi fisik spesifik pada medium perekam. Jika foto dipotong, Anda akan kehilangan informasi yang ada di bagian yang terpotong.

Sebaliknya, hologram merekam informasi tentang amplitudo (tinggi gelombang) dan fase (bagaimana gelombang bergerak) dari cahaya. Dengan kata lain, hologram merekam pola relasional yang dihasilkan dari gelombang cahaya. Proses ini dimulai dengan membelah sinar laser menjadi dua: sinar referensi (langsung ke pelat) dan sinar objek (memantul dari subjek sebelum mencapai pelat). Kedua sinar ini bertemu dan berinterferensi, menciptakan Pola Interferensi yang sangat kompleks pada pelat fotografi.

Prinsip Non-Lokalitas Visual

Ciri yang paling mencolok dari hologram adalah sifat non-lokalitasnya: setiap bagian dari hologram, asalkan ukurannya cukup, mengandung keseluruhan informasi yang tersimpan. Ketika pelat ini diterangi oleh sumber cahaya koheren, pola interferensi yang direkam merekonstruksi kembali gambar tiga dimensi utuh dari objek aslinya. Meskipun pelat tersebut dipecah-pecah, setiap pecahan masih dapat mereproduksi seluruh gambar, meskipun ketajaman atau resolusinya mungkin lebih rendah. Menurut Teori Otak Holografik, otak manusia beroperasi dengan cara yang sama. Pola aktivitas saraf menghasilkan pola interferensi yang mengkodekan memori, mendistribusikannya ke seluruh jaringan saraf yang luas. Oleh karena itu, memori jangka panjang yang tersebar di atas jaringan dendritik, memastikan bahwa setiap bagian jaringan tersebut dapat menyimpan seluruh informasi yang tersimpan di seluruh jaringan.

Karl Pribram: Otak Sebagai Penganalisis Frekuensi

Karl Pribram mengambil analogi hologram ini dan mengintegrasikannya ke dalam fungsi neurofisiologis yang spesifik, memunculkan Teori Otak Holonomik.

A. Pergeseran Fokus: Dari Akson ke Dendrit

Pribram mengusulkan pergeseran fokus dari proses saraf yang paling sering dipelajari—Potensial Aksi yang bergerak melalui akson dan sinaps—ke osilasi listrik halus yang terjadi dalam jaringan serat-serat halus dendritik. Berbeda dengan potensial aksi yang sering dianggap sebagai sinyal digital (hidup atau mati), osilasi dendritik ini bersifat gelombang. Gelombang-gelombang listrik ini berinterferensi, dan pola interferensi yang dihasilkan inilah yang berfungsi sebagai medium pengkodean memori.

Dalam konteks ini, otak bukanlah sistem komputer yang menyimpan data di alamat file yang spesifik; melainkan berfungsi sebagai perekam gelombang yang sangat canggih.

B. Transformasi Fourier: Mengubah Ruang Menjadi Frekuensi

Mekanisme kunci yang memungkinkan pengkodean gelombang dan non-lokalitas adalah Transformasi Fourier (TF). TF adalah alat matematika yang memungkinkan pemisahan pola kompleks (seperti gambar visual atau suara) menjadi komponen frekuensi gelombang dasarnya.

Bayangkan TF sebagai cara kerja radio. Ketika kita menerima siaran, radio (atau otak) tidak perlu tahu lokasi stasiun pemancar secara geografis (koordinat ruang-waktu), tetapi hanya perlu “menyetel” frekuensi gelombang yang benar untuk menerima informasi. Dalam otak, TF melakukan hal serupa: ia mengubah informasi sensorik spasial (misalnya, pola visual di retina atau korteks) menjadi representasi dalam domain frekuensi.

Dukungan empiris untuk ini datang dari neurofisiolog Russell dan Karen DeValois, yang menunjukkan bahwa pengkodean frekuensi spasial yang ditampilkan oleh sel-sel korteks visual paling baik dijelaskan sebagai Transformasi Fourier dari pola input.

Penggunaan TF adalah mekanisme kausal fundamental yang mengubah sifat penyimpanan memori. Begitu memori dikodekan sebagai pola frekuensi—bukan sebagai titik lokasi absolut—informasi tersebut secara inheren menjadi relasional dan secara otomatis didistribusikan ke seluruh jaringan dendritik. Transformasi dari domain ruang-waktu ke domain frekuensi inilah yang memungkinkan sepotong memori untuk menyebar ke seluruh jaringan, menjamin non-lokalitas.

C. Keunggulan Kognitif

Penyimpanan holografik membawa keunggulan besar bagi fungsi kognitif yang kompleks. Model ini menjanjikan:

  1. Kapasitas Penyimpanan yang Besar: Hologram mampu menyimpan informasi dalam jumlah besar dalam ruang kecil, bahkan sangat kecil.
  2. Pemrosesan Paralel: Otak dapat memproses berbagai informasi secara simultan (paralel).
  3. Memori Asosiatif Cepat (Content Addressability): Kemampuan untuk mengenali atau memanggil kembali keseluruhan konten memori hanya dengan mengakses sebagian kecil informasinya. Kecepatan memori asosiatif ini adalah karakteristik penting dari kesadaran dan kognisi manusia yang sulit dijelaskan oleh model sinaptik tradisional.

Dimensi Kuantum: Holomovement dan Koherensi

Untuk menjelaskan aspek kesadaran dan hubungan antara pemikiran terdistribusi dan terlokalisasi, Pribram berkolaborasi dengan fisikawan David Bohm, yang memperluas teori ini ke ranah fisika kuantum.

A. Tatanan Tersirat Bohm

David Bohm mengembangkan ide tentang holomovement dan Tatanan Tersirat (Implicate Order). Dalam pandangannya, Tatanan Tersirat adalah realitas dasar yang tak terhingga dan terlipat, di mana semua hal terhubung. Pengalaman sadar kita sehari-hari adalah manifestasi dari Tatanan Tersurat (Explicate Order) yang terungkap dari Tatanan Tersirat tersebut. Pribram menyadari bahwa hologram, yang menyimpan informasi dalam pola interferensi dan kemudian menciptakannya kembali saat diaktifkan, adalah metafora kuat untuk bagaimana otak menangani realitas ini, berfungsi sebagai antarmuka antara Tatanan Tersirat dan Tersurat.

B. Holonomi dan Entanglement di Otak

Teori ini mengadopsi konsep Holonomi (holografi kuantum), di mana jumlah besar informasi yang tersimpan dalam daerah kecil bidang reseptif dendritik dalam ruang fase seluler. Informasi yang diyakini terjerat ( entangle ), yang memfasilitasi penyampaian informasi kooperatif yang koheren di antara seluruh jaringan.

Teori Otak Kuantum (Quantum Brain Dynamics—QBD), yang sering digabungkan dengan model holografik, menyatakan bahwa proses kognitif mungkin melibatkan perubahan status kuantum atom di dalam neuron. Otak penyimpanan harus mampu memutar perubahan tingkat penyimpanan dari masukan sensorik, mengubahnya menjadi konsep tingkat tinggi, membuat keputusan di tingkat penyimpanan, dan mengkodekan kembali keputusan tersebut untuk menghasilkan efek makroskopik (seperti tindakan atau ucapan).

C. Peran Decoherence sebagai Pemicu Lokalisasi

Salah satu aspek paling penting dari dimensi positioning ini adalah peran koherensi dan dekoherensi . Koherensi overlay adalah keadaan di mana partikel atau gelombang dapat bekerja sama dan mempertahankan hubungan fase yang stabil. Koherensi ini diperlukan agar pengiriman informasi kooperatif dapat tercapai di seluruh jaringan saraf. Yang menarik adalah, hilangnya koherensi fragmentasi (dekkoherensi) diyakini berfungsi untuk menginduksi proses lokalisasi. Ini menyiratkan bahwa memori yang kita anggap “klasik” atau terlokalisasi mungkin merupakan hasil dari dekkoherensi yang cepat dalam sistem holografik. Otak secara aktif mengelola tingkat koherensi untuk beralih antara pemrosesan informasi asosiatif yang disebarkan (keadaan holografik) dan pemrosesan informasi diskrit atau terfokus (keadaan terlokalisasi).

Kritik Ilmiah dan Pembelaan Model: Perdebatan Sistem Terbuka

Meskipun Teori Otak Holonomik menawarkan kerangka yang elegan untuk memecahkan misteri memori dan kesadaran, teori ini menghadapi skeptisisme yang signifikan dari ilmu saraf konvensional.

A. Status Spekulatif dan Kompleksitas

Kritik utama adalah kurangnya bukti eksperimental langsung yang definitif bahwa otak benar-benar mengkodekan dan menyimpan informasi secara holografik. Beberapa kritikus berpendapat bahwa model ini terlalu kompleks, dan bahwa jaringan saraf konvensional sudah cukup menjelaskan banyak fungsi kognitif. Selain itu, penerapan teori kuantum Bohm ke ilmu saraf masih sangat spekulatif, karena efek kuantum langsung dalam sistem biologis besar masih menjadi perdebatan.

B. Perdebatan Kuantum: Masalah Dekkoherensi Termal

Kritik yang paling tajam ditujukan pada dasar positioning teori ini, sering diringkas dalam argumen bahwa otak “terlalu hangat, terlalu basah, dan terlalu bising” untuk mempertahankan koherensi kuantum. Lingkungan termal di dalam otak diperkirakan akan menyebabkan status fluktuasi gelombang listrik cepat kolaps—sebuah proses yang disebut dekkoherensi—dalam waktu yang sangat singkat, terkadang diperkirakan hanya 10^(-20) detik. Jika waktu koherensi sangat singkat, maka proses parkir yang terdistribusi secara luas tidak dapat terjadi.

C. Otak sebagai Sistem Terbuka yang Didukung Energi

Para pendukung teori holografik dan QBD, termasuk Pribram dan rekan kerjanya, menanggapi kritik ini dengan tekanan bahwa otak harus diperlakukan sebagai sistem terbuka, bukan sistem tertutup. Sistem terbuka adalah sistem yang terus-menerus disuplai dengan energi (dalam hal ini, energi metabolik untuk menjaga kelangsungan hidup).

Dalam sistem terbuka, seperti yang dijelaskan oleh model Fröhlich, proses kognitif dan penyimpanan memori holografik tidak dilihat sebagai keadaan pasif yang rentan terhadap kekacauan termal. Sebaliknya, proses ini adalah keadaan dinamis yang membutuhkan suplai energi terus-menerus untuk secara aktif mempertahankan koherensi kuantum dengan mengimbangi dekkoherensi dan melakukan koreksi kesalahan dalam aliran energi. Hal ini mengubah pandangan tentang memori holografik: itu bukanlah fenomena yang terjadi secara kebetulan; itu adalah proses yang menuntut energi tinggi dan secara aktif melawan hukum termal yang berusaha mendegradasi pola gelombang yang koheren. Dengan mempertimbangkan dinamika sistem terbuka ini, estimasi waktu dekkoherensi yang sangat kecil dan tidak realistis dapat dibantah, dan koherensi kuantum dalam otak dianggap dapat dipertahankan.

Implikasi Luas dan Prospek Masa Depan

Teori Otak Holonomik tidak hanya menawarkan model memori, tetapi juga perspektif radikal tentang kesadaran dan arsitektur kognitif.

A. Neuropsikologi dan Ketahanan Memori

Secara klinis, teori ini memberikan penjelasan yang kuat mengapa memori dapat bertahan dari kerusakan lokal pada otak. Jika memori tersebar secara holografik, kerusakan lokal hanya akan mengurangi resolusi (ketajaman) memori, bukan menghapusnya.

Selain itu, Lashley juga berkontribusi pada pemahaman tentang penyakit seperti Alzheimer, di mana komunikasi antar sel secara perlahan terdegradasi. Dalam kerangka holografik, kemunduran komunikasi ini dapat dilihat sebagai kegagalan progresif untuk mempertahankan koherensi yang diperlukan untuk merekonstruksi memori secara utuh, menghasilkan citra memori yang semakin kabur dan tidak lengkap.

B. Pengaruh pada Kecerdasan Buatan

Konsep penyimpanan terdistribusi dan pemanggilan asosiatif yang cepat telah memberikan inspirasi penting bagi bidang Kecerdasan Buatan (AI). Para peneliti telah mengeksplorasi model jaringan saraf yang disebut Holographic Neural Networks untuk meningkatkan kapasitas penyimpanan, kecepatan pemrosesan paralel, dan kemampuan asosiatif dalam mesin pembelajaran, menunjukkan bahwa prinsip-prinsip holografi sangat efisien dalam komputasi.

C. Tantangan Eksperimental

Untuk memindahkan Teori Otak Holonomik dari spekulasi ke refleksi ilmiah yang lebih luas, langkah selanjutnya adalah validasi eksperimental langsung. Ini menuntut pengembangan teknologi yang cukup sensitif untuk menyatukan osilasi gelombang listrik ultra-halus yang terjadi dalam serat dendritik dan, yang lebih penting, mengukur status koherensi kuantum dalam lingkungan otak yang hidup dan aktif. Jika para ilmuwan dapat memverifikasi bahwa otak secara aktif menggunakan Transformasi Fourier untuk mengkodekan informasi atau bahwa ia mempertahankan koherensi reproduksi secara stabil melalui dukungan metabolisme, model ini dapat mendefinisikan ulang pemahaman kita tentang ingatan, kesadaran, dan realitas itu sendiri. Dan model ini akan merevolusi paradigma neurosains tradisional dimana diyakini terjadi interkoneksi kimiawi, elektrokimiawi, elektromagnetik antar sinapsis.

—————-

Teori Otak Holografik yang dikemukakan oleh Karl Pribram, didukung oleh penemuan Lashley mengenai non-lokalitas memori dan mekanisme Transformasi Fourier, memberikan alternatif yang menarik dan komprehensif terhadap model memori yang terlokalisasi. Teori alternatif ini menyiratkan bahwa memori bukan sekadar rangkaian sinapsis yang diperkuat, tetapi pola gelombang yang terdistribusi dan bersifat relasional, tersebar di seluruh jaringan dendritik. Aspek overlay teori ini, meskipun masih diperdebatkan, memberikan kerangka kerja untuk memahami transmisi asosiatif yang sangat cepat, sambil menegaskan bahwa memori terdistribusi adalah proses yang menuntut energi (sistem terbuka) untuk secara aktif mempertahankan keadaan koherensi yang stabil. Sementara kritik ilmiah masih menanti bukti langsung, model holografik telah berhasil mengubah percakapan neurosains, memaksa para peneliti untuk mempertimbangkan bahwa otak mungkin jauh lebih kompleks dan terintegrasi secara fundamental dari yang diyakini sebelumnya.

Tangerang Selatan, 17 Oktober 2025