Dapatkah kita membandingkan manusia dengan mesin AI?

Bambang Nurcahyo Prastowo

Membandingkan manusia dengan mesin, terutama mesin berbasis kecerdasan buatan tidak mudah. Barangnya berbeda: manusia berpikir dan bertindak secara individual, sedangkan mesin adalah konstruksi teknis yang sebagian besar dirancang untuk beroperasi secara kolektif. Manusia sejak lahir mulai belajar dari nol, membangun pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan sedikit demi sedikit melalui interaksi dengan lingkungan. Sebaliknya, Mesin AI sering kali tidak perlu “belajar” dari awal setiap kali digunakan. Pengetahuan yang sudah diperoleh sebuah model dapat diwariskan, ditingkatkan, dan disebarkan ke mesin lain sehingga proses belajar berlangsung bertahap dari generasi ke generasi.

Cara manusia dan mesin memperoleh informasi juga sangat berbeda. Manusia biasanya membaca buku sesuai dengan minatnya, dan jumlah bacaan yang bisa dicerna sangat terbatas. Bahkan seorang pembaca tekun seumur hidup pun hanya mampu menguasai sebagian kecil dari total pengetahuan tertulis yang ada. Mesin AI, di sisi lain, dapat diprogram untuk menerima input dari seluruh koleksi buku atau setidaknya jumlah yang melampaui batas kapasitas pembacaan manusia. Dengan demikian, mesin memiliki peluang untuk menyerap referensi dalam skala masif, sesuatu yang tidak mungkin dilakukan manusia tanpa bantuan.

Sumber belajar manusia bisa melalui berbagai jalur dengan membaca, mendengar cerita, melihat peristiwa, dan mengalami langsung realitas di sekitarnya. Semua diolah dengan keterbatasan pancaindra, kapasitas panca indra dan waktu masa hidupnya. Mesin modern dirancang untuk menerima input dalam berbagai format: teks, gambar, suara, hingga video dengan volume yang jauh melampaui apa yang mungkin diserap seorang individu. Hasilnya, mesin bisa mengintegrasikan beragam bentuk informasi menjadi representasi pengetahuan yang lebih luas, sekalipun cara pengolahannya berbeda dari pemahaman manusia.

Generasi manusia berikutnya memang bisa mengakses buku atau informasi yang lebih baru dibanding generasi sebelumnya, tetapi keterbatasan tetap berlaku. Kecepatan membaca, daya ingat, dan kapasitas kognitif tidak bisa diperluas tanpa batas. Mesin di sisi lain dapat membantu meringkas, menyarikan, dan menghubungkan isi dari lautan data sehingga lebih mudah diakses manusia. Namun, pada akhirnya, keterbatasan kapasitas pancaindra dan waktu tetap membuat manusia hanya mampu menyerap sebagian kecil dari yang tersedia. Mesin tidak menghadapi kendala itu, karena kapasitasnya bisa diperbesar dengan perangkat keras tambahan dan pengembangan algoritma yang lebih efisien.

Namun, batas-batas ini mulai dipertanyakan dengan munculnya penelitian di ranah antarmuka manusia-mesin yang tidak konvensional. Proyek-proyek seperti yang digarap Neuralink, atau inisiatif serupa di bidang brain–computer interface, sedang menjajaki kemungkinan interkoneksi langsung antara otak manusia dan mesin. Jika pendekatan ini berhasil, maka keterbatasan manusia dalam menyerap informasi bisa dipotong drastis, karena jalur komunikasi tidak lagi bergantung pada pancaindra tradisional.

Khayakan kita kemudian berkembang dengan memikirkan potensi manusia untuk “mengunduh” intisari ribuan buku langsung ke dalam memori otaknya, atau mengakses representasi visual dan suara dari sebuah peristiwa tanpa harus melewati proses membaca, mendengar, atau melihat secara konvensional. Hal ini akan merombak total cara manusia belajar, bekerja, dan berinteraksi dengan mesin, sekaligus menimbulkan pertanyaan etis dan sosial yang besar tentang identitas, kesetaraan akses, serta batas antara manusia dan mesin itu sendiri.

Pertemuan antara manusia dan mesin pada akhirnya menciptakan dinamika yang tidak bisa direduksi sekadar pada siapa yang lebih unggul. Mesin memperluas cakupan pengetahuan yang bisa diakses manusia, sementara manusia memberikan konteks, intuisi, dan tujuan pada pengetahuan yang diproses mesin. Tetapi dengan adanya kemungkinan antarmuka langsung otak–mesin, garis pemisah itu semakin kabur. Saya belum bisa membayangkan bagaimana kita melakukan singkronisasi format database dalam model AI dengan model interkoneksi neuron di otak.

Mengingat perbedaan posisi manusia dan mesin AI itu, mungkin tidak relevan membandingkan keduanya sebagai dua entitas terpisah, melainkan membicarakan bentuk cara baru menggunakan mesin AI secara lebih efektif dan efisien.

Published by

Prastowo

Bambang Nurcahyo Prastowo adalah dosen jelata di Departemen Ilmu Komputer dan Elektronika, Universitas Gadjah Mada yang pernah mengajar mata-mata kuliah Sistem Operasi, Basis Data, Jaringan Komputer, Keamanan Sistem dan Blockchain.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *