Bambang Nurcahyo Prastowo
Kawan saya di group Masyarakat Informatika Sosial Indonesia (MISI) memperkenalkan ke saya istilah candu digital. Istilah ini sepertinya memang cocok dengan content media sosial yang dirancang untuk menarik perhatian kita terus-menerus agar tetap terikat di layat gadget.
Narkoba pada awalnya bukanlah musuh. Narkoba awalnya dikembangkan untuk keperluan medis: morfin, opioid, dan turunannya diproduksi untuk mengurangi rasa sakit, meredakan kecemasan, bahkan menyelamatkan nyawa. Di luar konteks pengobatan, zat yang sama berubah menjadi candu yang menjerat otak dengan memanipulasi sistem dopamin. Pada akhirnya menghancurkan hidup penggunanya.
Sepertinya fenomena ini mirip dengan yang terjadi pada media sosial. Platform digital ini awalnya dirancang sebagai media komunikasi global, sarana e-commerce, dan tempat menyebarluaskan pendidikan globak. Akses content bisa lintas benua dalam hitungan detik, membuka peluang usaha baru dan memperluas akses pengetahuan. Seperti narkoba dalam konteks medis, awalnya media sosial memiliki potensi sebagai obat pengembangan sosial bagi masyarakat modern.
Masalah muncul ketika bisnis di dunia sisber tidak berhenti pada fungsi sosialnya. Algoritma yang dirancang untuk otomasi iklan yang menarik perhatian ternyat bisa menumbuhkan pola konsumsi adiktif. Konten-konten dibuat untuk mengeksploitasi rasa penasaran dan memicu ledakan dopamin instan, membuat otak pengguna terperangkap dalam siklus scroll, like, share, repeat. Ini bisa jadi candu digital.
Jika narkoba biologis merusak neuron, narkoba digital jangan-jangan juga melakukan hal serupa: mengganggu konsentrasi, kemampuan berpikir kritis, bahkan kesehatan mental. Ia bisa memicu kecemasan, polarisasi pilitik, dan merangsang perilaku waton njeplak di berbagai forum komunikasi. Sama seperti pemakaian narkoba di luar jalur medis, media sosial yang keluar dari jalur produktifnya bisa berubah menjadi ancaman serius bagi kesehatan publik.
