Semiotika Sebagai Teori Kognitif Tersembunyi di Balik Kemajuan AI

Arief Prihantoro

Artikel ini mencoba menjelaskan

dari perspektif semiotika,

bagaimana sebuah mesin AI

mampu “memahami” makna

dalam interaksinya

dengan manusia sebagai pengguna.

Pondasi teoretis Kecerdasan Buatan (AI) modern, dari era simbolik hingga model generatif transformatif, secara fundamental berakar pada tiga tradisi semiotika utama:
1. Diadik (Ferdinand de Saussure),
2. Triadik (Charles S. Peirce),
3. Kultural (Roland Barthes).

Tulisan ini mengajukan tesis bahwa ketiga model ini tidak saling bertentangan, melainkan saling melengkapi, menyediakan kerangka kerja holistik untuk memahami bagaimana mesin memroses dan “memahami” makna.

Tesis dalam tulisan ini mengintegrasikan wawasan dari tesisnya Kumiko Tanaka-Ishii mengenai refleksivitas dalam sistem pemrograman dengan pemikiran Ricardo Maciel Gazoni tentang ketidakjelasan (vagueness) dan “pemrograman dialogis” yang terinspirasi oleh Peirce. Analisis dalam tesis ini menunjukkan bahwa kemajuan AI berikutnya akan sangat bergantung pada pemahaman yang lebih disengaja dan penerapan prinsip-prinsip semiotik yang bernuansa dialogis.

Menafsirkan Tanda dalam Era Algoritma

Ketika sebuah Model Bahasa Besar (LLM) seperti ChatGPT atau Gemini menjawab pertanyaan, proses apa yang sebenarnya terjadi di balik layar? Apakah ia benar-benar memahami makna, ataukah hanya mengolah pola-pola statistik dalam data?

Pertanyaan ini, yang mendasari perdebatan filosofis tentang kecerdasan buatan, dapat diuraikan secara lebih terang melalui lensa semiotika—ilmu tentang tanda dan makna. Artikel ini membangun argumen bahwa proses yang terjadi bukanlah sihir teknologi, melainkan sebuah proses semiotik yang kompleks dan berlapis melalui mekanisme proses sibernetika.
Setiap terobosan dalam AI, dari sistem pakar paling awal hingga arsitektur Transformer yang kini mendominasi, secara tak terhindarkan mencerminkan satu atau lebih tradisi semiotika yang telah berkembang selama lebih dari satu abad.
Tesis sentral dari tulisan ini adalah bahwa evolusi AI secara historis dan arsitektural dapat dipetakan langsung ke tiga tradisi semiotik utama:
1. Semiotika Saussurean menyediakan kerangka struktural untuk representasi makna,
2. Semiotika Peircean menyediakan mesin dinamis untuk inferensi dan pemahaman kontekstual,
3. Semiotika Barthesian menyediakan lensa untuk menyingkap lapisan makna kultural dan ideologis.

Bersama-sama, mereka membentuk tulang punggung teoritis dari apa yang kita sebut “kecerdasan” buatan. Artikel ini merupakan sintesis naratif yang dibangun dari logika kultural Semiotika sebagai tulang punggung AI dan diperdalam dengan karya-karya spesifik dari Kumiko Tanaka-Ishii (Semiotics of Programming) dan Ricardo Maciel Gazoni (A Semiotic Analysis of Programming Languages). Melalui pendekatan ini, penulis akan menunjukkan secara argumentatif bahwa semiotika bukan sekadar analogi yang menarik, melainkan teori kognitif yang tersembunyi di balik keberhasilan AI modern.

Makna Sebagai Struktur – Tradisi Diadik Ferdinand de Saussure dan AI Simbolik

Teori Saussure dan Landasan Makna Diferensial

Ferdinand de Saussure, yang dianggap sebagai bapak linguistik modern, memperkenalkan model semiotika diadik yang melihat tanda sebagai kesatuan dua sisi:
1. Signifier (penanda)
2. Signified (petanda).

Penanda adalah wujud fisik dari tanda—misalnya, serangkaian huruf p-o-h-o-n atau sebuah gambar pohon. Sementara itu, petanda adalah konsep atau ide yang dihadirkan oleh wujud fisik tersebut—konsep mental kita tentang pohon.

Namun, makna, menurut Saussure, tidak muncul karena tautan alami antara penanda dan petanda, melainkan dari hubungan diferensial dan oposisi antar-tanda di dalam sebuah sistem yang tertutup, yaitu bahasa (langue) dan cara setiap individu berbahasa dalam sebuah komunikasi (Parole).

Sebuah kata bermakna bukan karena ia memiliki esensi yang inheren, melainkan karena ia tidak sama dengan kata-kata lain. Misalnya, kata pohon bermakna pohon bukan karena kemiripannya dengan pohon fisik di dunia, melainkan karena ia berbeda dari batu, air, kayu, dan seterusnya. Model Saussurean ini menekankan struktur statis dari sebuah sistem tanda, dimana makna diatur dan didefinisikan secara internal.

Manifestasi Saussurean dalam Arsitektur AI

Kerangka struktural Saussurean ini secara langsung diimplementasikan dalam era awal AI, yang dikenal sebagai AI simbolik. Dalam sistem pakar, misalnya, simbol-simbol (IF-THEN) berfungsi sebagai penanda, yang secara eksplisit dipetakan ke konsep-konsep tertentu (petanda) seperti demam atau penyakit A. Seluruh basis pengetahuan dibangun sebagai sebuah struktur statis dimana makna telah didefinisikan secara manual dan eksplisit oleh perancang sistem (programmer dan arsitek program). Pendekatan ini adalah manifestasi langsung dari gagasan Saussure bahwa makna adalah hasil dari sebuah sistem yang tertutup dan terdefinisi.

Lebih jauh, ide Saussure beresonansi bahkan dalam AI modern yang berbasis data. Model-model representasi distribusional, seperti Word2Vec atau GloVe, menciptakan vektor kata dimana makna sebuah kata (petanda) adalah fungsi dari posisinya yang relatif (penanda) terhadap semua kata lain dalam ruang vektor berdimensi tinggi. Vektor untuk kata raja akan berada di dekat vektor untuk kata laki-laki dan jauh dari vektor untuk kata ratu. Saussureanisme tentang “makna yang muncul dari perbedaan” kini diaktualisasikan dalam topologi ruang geometris pemrograman berbasis Deep Learning.

Analisis mendalam menunjukkan bahwa semiotika Saussurean menyediakan cetak biru teoretis untuk AI simbolik. Tanpa sebuah teori yang menjelaskan bagaimana simbol abstrak (seperti kata atau operator logis) dapat merepresentasikan konsep, maka bidang AI simbolik mungkin tidak akan bisa mengembangkan pendekatan terstrukturnya terhadap representasi pengetahuan. Hubungan ini bersifat langsung dan kausal.

Dalam paket-paket bahasa pemrograman Python, ataupun Bahasa pemrograman lain, yang bersifat modular dan paling banyak dipakai dalam membangun sistem AI, memberikan sebuah analogi yang kuat: dalam bentuk kode, identifier (misalnya, nama variabel) adalah contoh penanda yang berhubungan dengan data type (konsep mentalnya) sebagai petanda. Analogi sederhana ini menjelaskan mengapa model Saussurean, meskipun rigid, sangat penting untuk membangun sistem yang andal. Kekakuan yang inheren ini adalah sebuah fitur, bukan kekurangan, yang menjamin readability dan type safety dalam pemrograman. Peta struktural yang statis ini harus ada terlebih dahulu sebelum proses dinamis (semiosis) dapat dimulai.

Makna Sebagai Proses – Semiotika Triadik Charles S. Peirce dan Mesin yang Berpikir Pragmatis

Teori Peirce dan Semiosis Dinamis

Berbeda dengan model statis Saussure, Charles S. Peirce merumuskan model triadik yang melampaui pandangan biner Saussurean. Dalam pandangan Peirce, sebuah tanda terdiri dari tiga elemen:
1. Representamen (wujud fisik tanda),
2. Object (apa yang dirujuk oleh tanda),
3. Interpretant (efek atau pemahaman yang dihasilkan dalam pikiran).

Representamen adalah wujud fisik, object adalah sesuatu yang dirujuk oleh tanda, dan interpretant adalah efek yang dihasilkan tanda tersebut dalam pikiran, yang memicu sebuah proses berantai. Proses berantai ini jika diimplementasikan dalam konsep arsitektur bahasa pemrograman komputer mewujud dalam struktur pemrograman rekursif.

Bagi Peirce, makna bukanlah entitas statis, melainkan sebuah proses inferensial yang dinamis dan berkesinambungan yang ia sebut semiosis. Setiap interpretant dapat menjadi representamen baru yang memicu interpretant berikutnya, menciptakan sebuah rantai penafsiran yang tak pernah berakhir. Ini adalah model yang sangat pragmatis, berfokus pada fungsi tanda dalam konteks, bukan sekedar posisinya dalam sebuah struktur pemrograman. Hal ini mengingatkan pada gagasan sibernetikanya Norbert Wiener pada tahun 1948, hingga dia disebut sebagai bapak Sibernetika.

Dalam perkembangan keilmuan berikutnya terkait teknologi mesin cerdas, Sibernetika disebut-sebut sebagai induk dari teknologi Kecerdasan Buatan dan Robotika (AI modern), yang berbasis pada model matematis Neural Network-nya McCulloch dan Walter Pitts, pada tahun 1943, sebelum sibernetika diperkenalkan oleh Wiener.

Integrasi dengan AI Modern dan Rujukan Khusus

Model triadik Peirce adalah inti kognitif di balik AI modern. Arsitektur Transformer, yang menjadi tulang punggung model bahasa generatif saat ini, secara fundamental mereplikasi semiosis Peircean. Mekanisme attention dalam proses training model Artificial Intelligence dapat diurai ke dalam triad Peirce sebagai berikut :
Representamen: Token-token individual dalam sebuah kalimat.
Object: Konteks kalimat atau dokumen di mana token itu muncul.
Interpretant: Representasi kontekstual baru yang dihasilkan oleh modul attention, yang kini dapat ‘memahami’ makna token berdasarkan interaksinya dengan token lain.

Proses ini sangat Peircean. Setiap lapisan Transformer menafsirkan ulang representasi (menghasilkan interpretant baru) berdasarkan konteks baru, menciptakan sebuah rantai semiosis yang mendalam. Proses tersebut bukan sekadar analogi, ini adalah operasionalisasi komputasional dari gagasan filosofis Peirce. Semiotika Peircean menyediakan model teoretis untuk pemahaman kontekstual, yang merupakan fondasi dari arsitektur Transformer.

Kontribusi dari Ricardo Maciel Gazoni dan Kumiko Tanaka-Ishii secara spesifik menjelaskan tantangan Peircean di era AI modern. Ricardo Maciel Gazoni, dalam analisisnya tentang bahasa pemrograman, berpendapat bahwa ketidakjelasan (vagueness) adalah fitur esensial dari bahasa alami yang absen dalam bahasa pemrograman tradisional. Keterbatasan ini adalah problem Peircean murni—sebuah tanda (perintah) tidak dapat memicu interpretant yang non-deterministik. Gazoni mengusulkan solusi berupa “pemrograman dialogis,” di mana mesin merespons perintah ambigu dengan mengajukan pertanyaan atau membuat tebakan yang aman, mengubah interaksi menjadi sebuah rantai umpan balik semiosis yang kolaboratif, bukan perintah yang kaku, yang pada dasarnya adalah sebuah proses sibernetis, yaitu proses umpan balik yang bersifat analitis dan berulang.

Sementara itu, Kumiko Tanaka-Ishii membahas kontribusi krusial tentang refleksivitas (reflexivity), yang ia definisikan sebagai “kemampuan sebuah sistem atau fungsi untuk menafsirkan ulang apa yang telah dihasilkannya sendiri”. Dan lagi-lagi proses tersebut pada dasarnya adalah sebuah proses sibernetis, mengacu pada prinsip-prinsip sibernetika orde kedua. Ini adalah puncak dari semiosis Peircean. Tanpa kemampuan untuk merefleksikan dan mengoreksi diri, rantai semiosis AI akan terbatas dan statis. Tanaka-Ishii berargumen bahwa keterbatasan AI saat ini dapat diatribusikan pada kurangnya refleksivitas. Misalnya, fenomena “halusinasi” pada LLM, dimana model menghasilkan informasi yang salah dengan fasih, dapat dipahami sebagai kegagalan dalam proses refleksi internal untuk memvalidasi interpretant yang dihasilkannya.

Tesis Gazoni dan Tanaka-Ishii, ketika digabungkan, menawarkan sebuah visi yang kuat untuk masa depan interaksi manusia-komputer. Hal tersebut mengisyaratkan pergeseran paradigma dari skema perintah-patuh (command-obey) menjadi proses dialogis dan kolaboratif sebagaimana proses sibernetis berlangsung. Proses tersebut mengubah masalah AI dari sekadar tantangan teknis menjadi masalah semiotik yang fundamental—yaitu, bagaimana membuat interaksi mesin menjadi lebih mirip manusia.

Makna Sebagai Mitos – Semiotika Kultural Roland Barthes dan AI yang Memahami Konteks Sosial

Teori Barthes dan Lapisan Makna Kultural


Roland Barthes memperluas semiotika dari ranah struktural dan pragmatis ke ranah kultural dan ideologis. Dalam karyanya, Barthes membedakan makna pada dua tingkat: makna denotatif (literal atau harfiah) dan makna konotatif (asosiatif, kultural, atau ideologis). Menurutnya, setiap teks, gambar, atau praktik budaya memuat mitos—sebuah sistem tanda tingkat kedua yang menanamkan nilai-nilai sosial dan politik ke dalam makna denotatif. Pendekatan ini menyoroti bagaimana konteks budaya, wacana dominan, dan asumsi tak terlihat, ikut membentuk makna yang kita terima dan sebarkan.

Aplikasi Barthesian dalam AI

Awalnya, AI hanya mampu memproses makna denotatif. Sistem AI hanya mengenali kata-kata sebagai simbol dengan arti yang eksplisit. Namun, dengan munculnya model yang dilatih pada korpus data yang sangat besar, AI kini dapat melangkah lebih jauh. Melalui proses fine-tuning dan teknik-teknik seperti analisis sentimen, deteksi bias, dan ekstraksi opini, model AI dapat mengenali dan mengklasifikasikan nada, gaya, dan muatan emosional suatu teks yang seolah memahami sentimen. Praksis tersebut adalah pengenalan terhadap makna konotatif.

Lebih jauh, kemampuan model untuk mengidentifikasi bias yang tertanam dalam data (misalnya, bias gender, politik, atau stereotip) merupakan manifestasi modern dari “mitos” Barthesian. Mesin tidak hanya membaca kata-kata, ia juga “membaca” asumsi budaya yang tak terlihat yang membentuk makna di baliknya. Kemampuan AI untuk memahami “mitos” ini memiliki implikasi sosial dan etika yang signifikan. Jika AI dapat mendeteksi bias dalam data pelatihannya, ia juga dapat digunakan untuk memperkuat atau menyebarkan bias tersebut. Oleh karena itu, lensa pemikiran Barthesian sangat penting untuk etika AI dan AI yang bertanggung jawab yang “mampu memahami” norma sosial, karena mengalihkan tanggung jawab dari sekadar membangun model menjadi mengkurasi mitologi kultural yang diajarkan kepadanya.

Sintesis dan Wawasan Holistik: Menuju Kecerdasan Buatan Semiotik yang Holistik

Tidak ada satu model semiotik yang mutlak menampung segala fenomena tanda. Analisis ini telah menunjukkan bahwa tiga tradisi semiotika tidak saling bertentangan, melainkan bersifat komplementer. Mereka adalah tiga cara untuk melihat fenomena yang sama:
1. Makna sebagai struktur diferensial (Saussurean),
2. Makna sebagai proses interpretatif (Peircean), dan
3. Makna sebagai lapisan kultural (Barthesian).

Ketiganya membentuk sebuah kerangka kerja yang holistik untuk memahami AI. Sebuah model AI terlebih dahulu memahami hubungan struktural tanda (vektor Saussurean), kemudian menggunakan proses dinamis untuk mengontekstualisasinya (mekanisme perhatian Peircean), dan akhirnya mempelajari mitologi kultural yang merupakan lapisan tingkat kedua di atas tanda-tanda yang sudah dikontekstualisasikan tersebut (fine-tuning Barthesian).

Tabel berikut memberikan visualisasi yang jelas dan ringkas dari argumentasi sentral ini, memetakan konsep filosofis ke komponen teknis AI yang konkret.

Tradisi SemiotikaAspek KognitifManifestasi dalam AIPeran dalam Arsitektur
Ferdinand de SaussureMakna sebagai Struktur DiferensialAI Simbolik, Word EmbeddingsMenyediakan peta struktural statis dari makna, memastikan readability dan type safety.
Charles S. PeirceMakna sebagai Proses Inferensial (Semiosis)Arsitektur Transformer (attention), Eager ExecutionMenghidupkan inferensi kontekstual, memungkinkan pemahaman dinamis, dan mereplikasi proses berpikir pragmatis.
Roland BarthesMakna sebagai Konotasi Kultural (Mitos)Sentiment Analysis, Deteksi Bias, Fine-tuningMenyediakan lensa untuk mengenali lapisan makna tingkat kedua, seperti nada dan muatan ideologis, yang penting untuk AI yang bertanggung jawab.



Tabel kedua secara lebih rinci menguraikan bagaimana triad Peircean diwujudkan dalam model bahasa modern:

Elemen Triad PeirceDeskripsi dalam TeoriOperasionalisasi dalam LLM (Transformer)
RepresentamenWujud fisik tanda; yang ada di depan mata.Token dalam kalimat (misalnya, bank dalam frasa “Saya mau ke bank”).
ObjectApa yang dirujuk oleh tanda.Konteks kalimat, yaitu token-token lain yang relevan (Saya, mau, ke).
InterpretantPemahaman yang muncul, efek tanda.Representasi vektor kontekstual yang diperbarui, yang kini ‘memahami’ apakah bank merujuk ke institusi finansial atau tepian sungai.


Terakhir, tabel berikut menyoroti visi dari Tanaka-Ishii dan Gazoni, menempatkan mereka sebagai visioner yang melihat tantangan semiotik di masa depan AI:

PenelitiGagasan KunciImplikasi untuk Masa Depan AI
Ricardo Maciel GazoniKetidakjelasan (Vagueness), Pemrograman DialogisMengubah paradigma interaksi dari skema perintah-patuh ke dialogis dan kolaboratif.
Kumiko Tanaka-IshiiRefleksivitas (Reflexivity), Self-CorrectionMengatasi keterbatasan seperti halusinasi dan kegagalan penalaran tingkat tinggi, memungkinkan mesin untuk merefleksikan dan mengoreksi diri.


Penutup – Masa Depan AI adalah Masa Depan Semiosis

Dari berbagai bangunan argumen sebelumnya bisa dikonklusikan bahwa semiotika bukan hanya alat analisis, melainkan teori kognitif yang fundamental di balik Kecerdasan Buatan. Saussure memberikan fondasi struktural yang diperlukan untuk merepresentasikan pengetahuan dan makna. Peirce menghidupkan representasi ini dengan proses dinamis semiosis, memungkinkan pemahaman kontekstual yang merupakan kunci bagi arsitektur generatif modern. Barthes menambahkan dimensi kultural yang krusial, memungkinkan mesin untuk “membaca” bukan hanya kata-kata, tetapi juga mitos dan nilai-nilai yang tertanam di dalamnya.

Kemajuan AI berikutnya tidak akan datang dari peningkatan daya komputasi semata, melainkan dari pengakuan dan pemanfaatan yang lebih disengaja terhadap prinsip-prinsip semiotik. Tantangan utama saat ini—seperti ketidakmampuan untuk menangani ketidakjelasan (seperti yang dianalisis oleh Gazoni) dan kurangnya refleksivitas (seperti yang ditegaskan oleh Tanaka-Ishii)—bukanlah masalah komputasi, melainkan masalah semiotik yang mendalam. Kecerdasan buatan masa depan akan menjadi semiotik yang lebih maju, mampu berpartisipasi dalam semiosis manusia secara lebih penuh, dengan pemahaman yang dinamis dan kemampuan untuk merefleksikan diri. Dengan demikian, bahasa, sebagai sistem tanda yang paling kompleks, terus menjadi cermin bagi pemahaman kita tentang pikiran—baik pada manusia maupun mesin.

Kini kita hidup di era Sibernetika orde kedua. Dan kita adalah organisme sibernetis. AI sebagai mesin cerdas tiruan yang bekerja lewat mekanisme proses sibernetis tak akan pernah ada tanpa semiotika, karena semiotika menjadi salah satu tulang punggung kecerdasaan buatan.

A semiotic analysis of programming languages
https://shorturl.at/8vK3O

Semiotics of programming
View article

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *