Gelembung finansial selalu datang bersama setiap gelombang teknologi besar. Kita pernah mengalaminya pada akhir 1990-an ketika internet baru dikenal luas, lalu menyaksikannya lagi pada masa keemasan kripto di dekade 2010–2020-an. Kini tanda-tanda serupa muncul di sekitar kecerdasan buatan dan komputer kuantum. Polanya mirip-mirip: euforia investasi yang tumbuh jauh lebih cepat daripada nilai guna riil teknologi yang bersangkutan.
Untuk LLM ai agak beda. Masyarakat pada umumnya tidak lagi sekadar baca beritanya saja tapi bisa coba langsung. AI llm sudah masuk ke ruang kerja, ke dapur, ke ruang kuliah, ke dunia tulis-menulis, dan ke pengembangan perangkat lunak. Saya pakai chatgpt untuk membuat contoh-contoh program di perkuliahan yang sesuai dengan materi yang sedang dibahas. Saya pernah coba masak dengan resep karangan chatgpt, not bad lah rasanya.
Rasanya kita perlu pisahkan pemahaman antara gelembung finansial dari fondasi operasional. Yang disebut bubble pada dasarnya adalah kondisi ketika nilai pasar sebuah teknologi membengkak karena ekspektasi dan ketakutan tertinggal, bukan karena kinerja atau kebutuhan nyata. Dot-com bubble dulu menjadi contoh klasik: perusahaan yang hanya menambahkan akhiran “.com” di namanya bisa memperoleh valuasi miliaran dolar tanpa produk, tanpa pelanggan, bahkan tanpa rencana bisnis yang masuk akal. Para investor tidak membeli perusahaan, mereka membeli mimpi. Ketika akhirnya mimpi itu runtuh pada tahun 2000, pasar saham teknologi jatuh hingga lebih dari tujuh puluh persen, dan hanya segelintir perusahaan seperti Amazon dan Google yang bertahan.
Fenomena serupa terjadi pada kripto. Dunia tergoda oleh gagasan desentralisasi uang, tetapi yang tumbuh justru ekosistem spekulasi. Ribuan token diciptakan tanpa kejelasan fungsi, ribuan proyek dijanjikan tapi tidak pernah selesai. Ketika bubble kripto pecah, efeknya nyaris hanya terasa di ruang spekulatif itu sendiri. Tidak ada sistem produksi, pemerintahan, atau infrastruktur publik yang terganggu. Karena di luar bursa kripto, tidak banyak yang benar-benar bergantung pada blockchain publik atau tokenisasi. Teknologi blockchain memiliki nilai, tetapi sektor kriptonya hanyalah lapisan finansial yang belum punya akar kuat di dunia nyata. Saya pernah menulis tentang Blockchain yang perfect solution tapi masih cari-cari problem yang sesuai.
Di sisi lain, komputer kuantum mulai menempati posisi yang mirip dengan kripto di awal popularitasnya. Janjinya spektakuler, mampu memecahkan persoalan yang mustahil bagi komputer klasik, mulai dari simulasi molekul hingga kriptografi. Namun, hampir semua klaim itu masih berada di ruang laboratorium. Saya belum lihat ada perusahaan yang mengandalkan komputer kuantum untuk menjalankan bisnis sehari-hari, tidak ada pemerintahan yang bergantung padanya untuk keamanan nasional.
Sepertinya, jika bubble kuantum meletus, dunia tetap berjalan baik-baik saja (atau tidak baik-baik saja seperti biasa). Para peneliti bakal kehilangan dana, beberapa startup gulung tikar, tetapi tidak ada rantai pasok yang berhenti.
Berbeda dengan dua kasus Blockchain dan komputer kuantum, Large Language Model atau LLM AI sudah menjadi bagian dari fondasi operasional masyarakat modern. AI bukan hanya eksperimen atau bahan riset; ia sudah digunakan secara nyata untuk menulis laporan hukum, menganalisis pasar, menyiapkan materi kuliah, mengedit naskah, dan membantu pengembangan perangkat lunak.
Bersamaan dengan valuasi perusahaan-perusahaan AI yang naik gila-gilaan, ada nilai produktivitas yang nyata. Jika harga saham perusahaan AI jatuh besok pagi, dosen, penulis, dan programmer tetap akan menggunakan ChatGPT, Claude, Gemini, atau model lainnya. Tidak ada jalan mundur, karena sistem kerja dunia sudah berubah dan terlalu bergantung pada bantuan kecerdasan buatan. Inilah perbedaan utama antara bubble finansial dan fondasi operasional.
Secara umum, bubble memperlihatkan antusiasme pasar yang berlebihan, sementara fondasi adalah nilai tambah riil yang tetap bertahan setelah euforia berlalu. Ketika bubble pecah, proyek spekulatif hancur, tetapi aplikasi yang benar-benar berguna mestinya akan bertahan. Itulah sebabnya setelah dot-com bubble runtuh, yang tersisa bukan kehancuran internet, melainkan lahirnya ekonomi digital modern.
Menurut pemikiranku, gelembung finansial bukan semata-mata sekadar kesalahan pasar, melainkan bagian penting dari proses kematangan teknologi itu sendiri. Setiap kali pasar berlebihan dalam berharap pada inovasi baru, uang dan sumber daya mengalir deras tanpa perhitungan. Akibatnya memang banyak yang terbakar sia-sia, tetapi dari pembakaran itulah muncul fondasi yang mempercepat kematangan operasionalnya. Gelembung, dengan segala irasionalitasnya, sering kali berfungsi sebagai mekanisme alami kapitalisme untuk melakukan investasi berlebihan demi mempercepat pembelajaran kolektif.
Dot-com bubble di akhir 1990-an adalah contohnya yang paling jelas. Ribuan perusahaan internet bermunculan tanpa rencana bisnis yang masuk akal, namun dana yang mereka bakar membangun sesuatu yang jauh lebih besar daripada mereka sendiri: infrastruktur jaringan global. Kabel serat optik yang ditanam, server farm yang dibangun, dan tenaga kerja teknologi yang dilatih dengan uang investor yang kini lenyap, semuanya menjadi dasar bagi internet yang kita gunakan sekarang. Dari reruntuhan spekulasi itu lahir perusahaan yang benar-benar mampu memanfaatkan fondasi tersebut. Amazon, Google, dan PayPal bukan muncul meskipun gelembungnya pecah, melainkan karena gelembung itu pernah ada.
Hal yang sama mungkin akan terjadi pada dunia kripto (sampai sekarang saya belum menemukan aplikasi serius dari teknologi Blockchain). Fase spekulatif yang tampak tidak masuk akal itu bis ajadi akan mendorong kemajuan besar dalam bidang kriptografi, keamanan digital, dan pemikiran tentang sistem desentralisasi. Ribuan proyek gagal, tetapi pengetahuan yang dikumpulkan dari kegagalan itu menjadi aset global. Tanpa euforia kripto, mungkin kita tidak akan memiliki kesadaran publik setinggi sekarang tentang privasi data dan identitas digital. Bubble kripto menciptakan laboratorium sosial berskala dunia yang mempercepat perkembangan konsep blockchain meski sebagian besar pelakunya tak lagi ada.
Kondisi serupa sedang terjadi pada kecerdasan buatan. LLM AI bubble yang kini mengembang bukan sekadar perayaan berlebihan terhadap model yang bisa menulis esai atau membuat kode, melainkan masa percepatan besar-besaran. Dunia berlomba membangun pusat data, mengembangkan chip baru, menyiapkan kebijakan etika, dan mengubah cara manusia berinteraksi dengan informasi. Banyak startup akan mati, banyak produk akan hilang, tapi hasil sampingannya—kecepatan komputasi, efisiensi pelatihan model, keterampilan teknis, dan infrastruktur pengetahuan—akan menjadi warisan jangka panjang. Dalam konteks sejarah, inilah fase pubertas AI: penuh kekacauan, tapi juga penuh energi pembentukan.
Komputer kuantum, meski belum menghasilkan aplikasi luas, saya pikir sedang menjalani fase serupa. Modal besar yang mengalir ke sana menciptakan kemajuan dalam fisika material, pendinginan kriogenik, dan teori komputasi probabilistik. Mungkin sebagian besar janji tentang supremasi kuantum tidak akan terwujud dalam waktu dekat, tetapi bekas investasinya akan menjadi lahan subur bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan industri.
Pada akhirnya, gelembung bukan hanya soal uang yang hilang, tetapi tentang percepatan yang tidak mungkin terjadi tanpa euforia pasar. Kapital yang berlebihan mempercepat kurva pembelajaran, menciptakan infrastruktur sebelum kebutuhan riilnya muncul, dan memaksa masyarakat menyesuaikan diri lebih cepat terhadap paradigma baru. Dalam kerangka besar sejarah teknologi, gelembung adalah biaya evolusi. Ia adalah ledakan energi sosial yang mengubah pengetahuan menjadi sistem, dan sistem menjadi kebiasaan.
Setiap generasi tampaknya membutuhkan satu gelembung besar untuk memaksa teknologi berikutnya lahir. Internet membutuhkannya, kripto mengalaminya, dan kini AI sedang menjalaninya. Mungkin nanti akan datang giliran bioteknologi, atau energi kuantum. Polanya tidak berubah: manusia hanya mau membangun dengan sungguh-sungguh ketika mereka sedang mabuk oleh keyakinan bahwa masa depan sudah di depan mata. Setelah mabuknya hilang, yang tersisa adalah infrastruktur, pengetahuan, dan kebiasaan baru yang menjadi fondasi dunia berikutnya.
Dengan begitu, gelembung finansial bukan sekadar kesalahan sejarah. Ia adalah bagian dari mekanisme kemajuan manusia—bentuk irasionalitas kolektif yang, ironisnya, mendorong rasionalitas sistemik. Dunia butuh sedikit kegilaan untuk menciptakan perubahan besar. Tanpa gelembung, kita akan berjalan lambat dan berhati-hati, tidak pernah benar-benar melompat ke masa depan.
